Masih di Bawah Umur, Komnas HAM: D dan AG Harus Dirahasiakan Identitasnya

Komnas HAM minta D dan AG harus dirahasiakan identitasnya karena masih di bawah umur.

Ali Mansur/Republika
Tersangka kasus penganiayaan Mario Dandy Satriyo. Komnas HAM minta D dan AG harus dirahasiakan identitasnya karena masih di bawah umur.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menanggapi kasus penganiayaan terhadap D (17 tahun) oleh anak eks pejabat Pajak Kemenkeu, Mario Dandy Satrio (20). Komnas HAM memandang pelakunya wajib dihukum. 

Baca Juga


Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mendukung penegakkan hukum dalam kasus ini. Ia sepakat bahwa pelaku mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya. 

"Tentu dalam pandangan HAM apabila ada warga masyarakat yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat lain, maka harus ada penegakan hukum. Pelaku harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Atnike kepada wartawan, Selasa (7/2/2023). 

Atnike memandang D seharusnya mendapat perlakuan khusus karena merupakan korban berusia anak. Salah satunya hak dirahasiakan identitasnya. 

"Korban di bawah umur maka ada perlindungan yang lain lagi misalnya perlindungan privasi terhadap anak di bawah umur. Termasuk dugaan jika ada anak di bawah umur lain yang terlibat, harus tetap dalam konteks perlindungan anak," ujar Atnike. 

Sedangkan AG, yang disebut polisi kini turut menjadi pelaku pun perlu mendapat hak serupa. Pasalnya AG masih berusia anak yaitu 15 tahun. 

"Dalam konteks perempuan berharapan dengan hukum, perlu diperhatikan prinsip perlindungan terhadap perempuan dimana kekerasan terhadap perempuan itu, framing terhadap perempuan di media perlu ada prinsip kehati-hatian dalam menyebarkan foto karena itu termasuk anak di bawah umur. Informasi mengenai privasi rumah dsb tetap harus mendapat perhatian," ujar Atnike. 

"Penegakan hukum harus tapi prinsip perlindungan terhadap anak harus dikedepankan. Nggak bisa karena tentu membenci kekerasan kemudian kita melakukan kejahatan lagi, kekerasan berikutnya nanti," lanjut Atnike. 

Selain itu, Atnike tak memandang kasus ini sebagai bentuk penyiksaan. Ia merujukkan pendapatnya pada konvensi anti penyiksaan. 

"Kalau konsep penyiksaan dalam konteks konvensi anti penyiksaan itu adalah penyiksaan yang dilakukan oleh aparat negara atau otoritas negara untuk mendapat satu pengakuan atau untuk memaksakan pandangan, ini kan bukan," ujar Atnike. 

Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memutuskan memberikan perlindungan terhadap D. Perlindungan terhadap D diputuskan dalam Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK (SMPL) pada Senin (6/3). Dalam pantauan LPSK, D masih terbaring di rumah sakit hingga saat ini. D belum sadarkan diri sejak kejadian penganiayaan pada Senin (20/2) di Jakarta Selatan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler