Perludem: Perbaikan Sistem tak Bisa Dilakukan Jika MK Putuskan Proporsional Tertutup
Perludem menolak pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem proporsional tertutup adalah sistem yang konstitusional, maka evaluasi perbaikan sistem tidak bisa lagi dilakukan ke depan. Hal ini disampaikan Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil ketika membacakan keterangan Perludem sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi atas sistem proporsional terbuka di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Sikap Perludem sendiri menolak pemilihan legislatif (pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Fadli awalnya mengatakan bahwa penggugat dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan sistem pemilu yang konstitusional ada sistem proporsional tertutup. Menurutnya, apabila MK mengabulkan permintaan tersebut, maka ruang evaluasi terhadap sistem pemilu akan hilang.
"Nantinya tidak bisa lagi dilakukan evaluasi perbaikan dan pembenahan (sistem pemilu), jika mahkamah sudah memutuskan bahwa sistem pemilu yang paling konstitusional itu adalah sistem proporsional daftar tertutup," kata Fadli, Kamis (16/3/2023).
Ia menjelaskan, ruang evaluasi menjadi hilang karena sistem pemilu yang konstitusional hanyalah sistem proporsional tertutup. Dengan begitu, pembentuk undang-undang tidak bisa menerapkan sistem pemilu lainnya di Indonesia.
Padahal, lanjut dia, terdapat banyak sistem pemilu dengan berbagai variannya. Selain itu, perlu dilakukan simulasi dan kajian mendalam untuk menentukan sistem pemilu yang paling cocok diterapkan di Indonesia.
Karena itu, ujar Fadli, penentuan sistem pemilu seharusnya tetap menjadi ranah lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan presiden. Penentuan sistem pemilu seharusnya tidak dilakukan oleh MK.
"Tidak boleh dipaksakan kepada mahkamah untuk menyatakan salah satu dari ragam sistem pemilu itu adalah sistem pemilu yang paling konstitusional," ujarnya.
Menurut Fadli, MK dapat membuat putusan atas perkara ini seperti putusan atas gugatan terkait pemilu serentak. Dalam perkara itu, MK menyatakan tidak bisa memutuskan pilihan keserentakan pemilu mana yang paling konstitusional.
Namun, MK memberikan batasan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan model pemilu serentak yang akan dipilih. Batasan itu di antaranya adalah memperhatikan kemudahan pemilih; memerhatikan beban kerja penyelenggara pemilu; mengarah pada penguatan sistem presidensial; dan memastikan tidak mengubah keserentakan pemilu presiden, DPR dan DPD.
Menurut Fadli, dalam putusan atas gugatan atas sistem proporsional terbuka ini, MK dapat memberikan batasan-batasan serupa. Tujuannya untuk memastikan prinsip pemilu jujur dan adil tetap terjaga. Batasan itu di antaranya adalah partai politik harus secara demokratis menentukan calon anggota legislatif (caleg) yang akan diusung, dan mengutamakan kader yang sudah mengabdi di internal partai politik dalam kurun waktu tertentu.
"Jika mahkamah dapat menjelaskan dan memberikan batasan terhadap batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang mesti dilakukan oleh partai politik dalam mengajukan calon anggota legislatif, masalah yang dibawa oleh pemohon dalam perkara ini sebetulnya sudah terselesaikan tanpa perlu mengubah sistem pemilu," kata Fadli.
Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Mereka menggugat sejumlah pasal dalam UU Pemilu yang menjadi landasan penerapan sistem proporsional terbuka. Mereka meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, sehingga bisa diterapkan dalam Pemilu 2024.
Sejauh ini, partai politik terpecah ke dalam dua kubu menyikapi gugatan tersebut. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan parpol parlemen, mulai dari Golkar, Gerindra, PKB, PPP, hingga PKS. Sedangkan pendukung sistem proporsional tertutup hanya PDIP.