Pertempuran di Sudan Terus Berkecamuk di Tengah Upaya Mediasi
Pertempuran mengganggu pasokan bantuan dan menyebabkan 100.000 orang mengungsi.
REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Pertempuran masih memanas di Khartoum selatan pada Ahad (7/5/2023), ketika utusan dari pihak-pihak yang bertikai di Sudan berada di Arab Saudi untuk mediasi. Inisiatif Amerika Serikat dan Saudi dalam mediasi adalah upaya serius pertama untuk mengakhiri pertempuran antara tentara dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang telah mengubah sebagian Ibu Kota Sudan, Khartoum menjadi zona perang dan menggagalkan rencana yang didukung internasional untuk transisi pemerintahan sipil.
Pertempuran yang berlangsung sejak pertengahan April telah menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan lainnya. Konflik juga mengganggu pasokan bantuan dan menyebabkan 100.000 pengungsi melarikan diri ke luar negeri.
Manahil Salah, seorang dokter laboratorium berusia 28 tahun yang ikut dalam penerbangan evakuasi dari Port Sudan ke Uni Emirat Arab, mengatakan, keluarganya bersembunyi selama tiga hari di rumah mereka di dekat markas tentara di ibu kota sebelum akhirnya melakukan perjalanan ke Pantai Laut Merah.
“Ya, saya senang bisa bertahan hidup. Tapi saya merasakan kesedihan yang mendalam karena saya meninggalkan ibu dan ayah saya di Sudan, dan sedih karena semua rasa sakit ini terjadi di tanah air saya," ujar Salah.
Ribuan orang berupaya melarikan diri dari Port Sudan ke Arab Saudi dengan perahu. Selain itu, beberapa lainnya rela membayar penerbangan komersial dengan harga mahal melalui satu-satunya bandara yang berfungsi di Sudan, atau menggunakan penerbangan evakuasi.
“Kami beruntung melakukan perjalanan ke Abu Dhabi, tetapi apa yang terjadi di Khartoum, tempat saya menghabiskan seluruh hidup saya, sangat menyakitkan,” kata Abdulkader (75 tahun) yang ikut dalam penerbangan evakuasi ke UEA.
"Meninggalkan hidupmu dan ingatanmu adalah sesuatu yang tak terlukiskan," tambahan Abdulkader.
Kedua belah pihak yang bertikai di Sudan telah menegaskan bahwa mereka hanya akan membahas gencatan senjata kemanusiaan, bukan merundingkan untuk mengakhiri perang. Pemimpin RSF Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, mengatakan, dia berharap pembicaraan akan mencapai tujuan yang dimaksudkan untuk mengamankan perjalanan yang aman bagi warga sipil. Hemedti telah bersumpah untuk menangkap atau membunuh pemimpin militer Abdel Fattah Al-Burhan. Selain itu, ada juga bukti di lapangan bahwa kedua belah pihak tetap tidak mau berkompromi untuk mengakhiri pertumpahan darah.
Konflik dimulai pada 15 April setelah runtuhnya rencana transisi menuju demokrasi yang didukung secara internasional. Burhan, seorang perwira militer karier, mengepalai dewan penguasa yang dibentuk setelah penggulingan otokrat lama Omar Al-Bashir pada 2019 dan kudeta militer pada 2021. Sementara Hemedti, mantan pemimpin milisi yang terkenal dalam konflik Darfur, adalah wakil Burhan.
Sebelum pertempuran, Hemedti telah mengambil sejumlah langkah yaitu mendekati koalisi sipil. Hal ini mengindikasikan dia memiliki rencana politik.
Kekuatan Barat telah mendukung transisi Sudan ke pemerintahan sipil. Penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan sedang melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada akhir pekan untuk melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Saudi dalam upaya mengakhiri konflik di Sudan.