Selamatan dan Tahlilan untuk Orang Meninggal, Mengapa NU dan Muhammadiyah Berbeda?
NU dan Muhammadiyah mempunyai dalil masing-masing terkait selamatan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Selamatan adalah sebuah tradisi ritual yang hingga kini tetap dilestarikan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Selamatan bertujuan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal agar mendapatkan keselamatan dan dijauhkan dari siksa kubur.
Selain itu, tradisi selamatan juga bertujuan untuk sedekah kepada warga sekitar dan kerabat serta semua orang yang hadir dalam pelaksanaan tradisi selamatan tersebut. Salah satu ritual selamatan yang dilakukan umat Islam Indonesia adalah tahlilan.
Namun, tidak semua umat Islam Indonesia menjalankan tradisi tahlilan. Tradisi ini hanya dijalankan warga Nahdlatul Ulama (NU) berdasarkan dalil-dalil yang diyakini. Sedangkan, Muhammadiyah tidak menjalankannya karena memiliki dalil berbeda. Lalu, bagaimana dalil NU dan Muhammadiyah soal tahlilan atau selamatan?
Di kalangan warga NU, tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya. Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya.
Pelaksanaan tahlil pada hari berturut-turut di kalangan warga NU tersebut didasarkan pada dalil berikut:
Baca juga: Masuk Islam, Zilla Fatu Putra Umaga Pegulat WWE Ini Beberkan Alasannya yang Mengejutkan
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨
Rasulullah SW bersabda, “Doa dan sedekah itu hadiah kepada mayit.” Berkata Umar: “Sedekah setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan sedekah dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari dan sedekah pada hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu sedekah pada hari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun, dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1.000 hari.” (Lihat Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)
Bacaan ayat-ayat Alquran yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Dari sahabat Ma’qal bin Yasar Ra bahwa Rasulallah SAW bersabda:
وَ (يس) قَلْبُ القُرْآنِ، لَا يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللّٰهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَ الآ خِرَةَ إِلَّا غُفِرَلَهُ، إِقْرَءُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ
“Surah Yasin adalah pokok dari Alquran, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surah Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian” (HR Abu Dawud, dan lain-lain).
Sementara itu, kalangan yang selama ini kontra memang kerap menyalahkan amaliyah Aswaja yang dianut oleh NU. Salah satu yang paling sering mereka fitnah adalah tahlilan. Karena, menurut mereka, tahlilan tidak berdasarkan dalil, bahkan dianggap merujuk pada kitab Agama Hindu.
Padahal, Ibnu Taimiyah al-Harrani yang merupakan rujukan mereka juga membenarkan susunan ala tahlilan dan menganjurkannya, seperti beliau tulis dalam Majmu’ al-Fatawa-nya, juz 22, halaman 305-306.
Begitu juga dengan pendiri aliran Wahabi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi. Dia juga turut membenarkan sampainya pahala tahlilan yang dihadiahkan kepada mayit dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut halaman 75.
Dengan menggunakan beberapa dalil seperti di atas, NU pun menyepakati bahwa tahlilan atau selamatan untuk orang yang meninggal dunia boleh saja dilakukan. Selain itu, masih banyak dalil-dalil lainnya yang digunakan ulama NU untuk melaksanakan amaliyah tahlilan.
Sementara itu, Muhammadiyah memiliki pandangan tersendiri terkait hukum selamatan yang ditujukan kepada orang meninggal atau tahlilan. Menurut Muhammadiyah, mengadakan selamatan disertai dengan doa yang dipaketkan itu tidak ada tuntunannya dalam Islam.
Baca juga: Terpikat Islam Sejak Belia, Mualaf Adrianus: Jawaban Atas Keraguan Saya Selama Ini
Muhammadiyah memang tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil “La Ilaha Illallah”, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya. Namun, yang dilarang Muhammadiyah adalah melakukan ritual tahlilan.
Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang adalah upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau 40 hari atau 100 hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).
Pada masa Rasulullah SAW pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi SAW untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi SAW tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS Al Baqarah ayat 208.
DISCLAIMER: Perbedaan yang muncul dalam pengambilan dalil ibadah ini masih masuk ranah khilafiyah yang diperbolehkan dalam Islam, dengan berpegang pada hujjah masing-masing.