MK Bantah Molorkan Proses Gugatan Sistem Pemilu

MK menegaskan panjang pendeknya satu perkara juga bergantung pada para pihak.

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersiap memimpin jalannya sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) membantah menunda-nunda putusan gugatan tentang sistem pemilihan umum (Pemilu). Padahal putusan atas perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu akan menentukan arah sistem Pemilu.

Gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu diajukan sejak November 2022. MK mengakui proses sidang perkara itu memang memakan waktu panjang untuk sampai ke tahap putusan.

"Kalau prosesnya lama, betul. Tetapi bukan berarti MK yang melakukan penundaan," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada wartawan, Senin (12/6/2023).

Fajar menyampaikan proses gugatan ini berlangsung lama karena dipengaruhi banyaknya para pihak yang terlibat di dalamnya. MK mesti menyimak pandangan para pihak secara komprehensif sebelum sampai pada kesimpulan.

"Karena panjang pendeknya satu perkara diselesaikan itu bukan hanya bergantung pada MK karena itu juga bergantung pada para pihaknya," ujar Fajar.

Fajar menyebut setidaknya ada 14 pihak terkait dalam gugatan tersebut. Mereka semua mengajukan diri untuk menyampaikan keterangan di dalam sidang. Permintaan itu lantas dikabulkan oleh MK.

"Jadi butuh waktu yang lama karena itu. Lama bukan dalam konteks MK menunda atau memperlambat proses penyelesaian tapi karena memang kebutuhan dan dinamika perkara itu," ujar Fajar.

Selanjutnya, Fajar menjelaskan gugatan ini mencapai tahap penyerahan kesimpulan pada 31 Mei. Setelah itu, MK menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk tiba pada putusan yang akan dibacakan pada Kamis pekan ini.

"Sekarang, hari ini sudah ditetapkan hari Kamis nanti pengucapan putusan. Jadi enggak ada penundaan-penundaan atau memperlama proses penyelesaian perkara," ujar Fajar.

Sebelumnya, gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan eks Wamenkumham Denny Indrayana menyatakan ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai.

Gugatan ini mendapat sorotan publik karena Denny membocorkan putusannya akan berupa proporsional tertutup. Padahal tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler