Polisi: Korban Perdagangan Orang Suka Rela Jual Ginjal Akibat Pandemi Covid-19

Menurut polisi, para korban terhimpit ekonomi saat pandemi hingga menjual ginjalnya.

Republika/Alli Mansur
Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 12 orang sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjulan organ tubuh ginjal. Dua diantaranya merupakan oknum kepolisian dan imigrasi, Kamis (20/7/2023).
Rep: Ali Mansur, Ali Yusuf Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polda Metro Jaya menyampaikan bahwa para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) secara sukarela menjual bagian organ tubuhnya yaitu ginjal. Hal itu dilakukan lantaran para korban membutuhkan uang akibat himpitan ekonomi, dampak dari pandemi Covid-19. 

Baca Juga


"Sukarela (menjual ginjalnya). Bermotif ekonomi sebagai dampak dari pandemi, sebagian besar kehilangan pekerjaan dan sebagainya,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (21/7/2023).

Selain itu, Hengki memastikan tidak ada tindakan kekerasan atau penyiksaan kepada korban TPPO dengan modus jual ginjal. Kemudian meski tidak ada paksaan, perbuatan menjual ginjal dengan motif ekonomi tidak dibenarkan oleh undang-undang. Sehingga perbuatan tersebut dianggap melanggar pidana dan termasuk ke dalam kasus TPPO.

"Dalam pengertian eksploitasi dalam UU TPPO itu dengan persetujuan atau tanpa persetujuan itu termasuk dalam klausul TPPO," terang Hengki. 

Dalam kasus ini, sebanyak 122 orang telah menjadi korban dan ginjal milik korban dijual dengan harga Rp 200 juta. Ginjal para korban diambil di rumah sakit militer Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibukota Kamboja. Rumah sakit militer tersebut dibawah kendali pemerintah Kamboja.

"Para sindikat Indonesia terima pembayaran Rp 200 juta, (lalu) Rp 135 juta dibayar ke pendonor. Sindikat terima Rp 65 juta perorang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandar ke rumah dan dan sebagainya," jelas Hengki. 

Menurut Hengki, total omzet yang didapat para sindikat sejak tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 sebesar Rp 24,4 milyar. Angka tersebut didapat dari hasil penjualan ginjal sebanyak 122 korban. Latar belakang dari para korban cukup bervariasi mulai dari pedagang, guru hingga ada yang lulusan strata 2 atau S2 di perguruan tinggi terkemuka.  

"Para pelaku memanfaatkan posisi rentan para korban yang umumnya kesulitan secara finansial dan mengeksploitasi korban demi memperoleh keuntungan. Para korban dijanjikan diberi uang Rp 135 apabila berhasil mendonorkan ginjalnya," kata Hengki.

 

 

 


Kasus ini terungkap berangkat dari informasi intelijen. Kemudian kepolisian menggerebek sebuah rumah yang diduga menjadi tempat penampungan penjualan ginjal ini terletak di Perumahan Villa Mutiara Gading, Jalan Piano 9, Blok F5 Kelurahan Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Diduga di rumah tersebut, para korban TPPO ditampung untuk selanjutnya dikirim ke Kamboja untuk diambil ginjalnya. 

Berdasarkan pantauan Republika pada Jumat (21/7/2023) siang, rumah ini terlihat sepi tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia di dalamnya. Namun, di teras hanya ada beberapa peralatan cat tembok tergeletak begitu saja di teras rumah itu.

Bahkan, rumah ini juga tidak terlihat ada garis polisi sebagai tanda rumah ini masih dalam pengawasan polisi terkait dugaan tindak pidana penjual bagian organ tubuh manusia. Nurdin warga sekitar rumah itu mengaku baru tahu rumah yang persis di rumahnya itu pernah digerebek polisi.

"Saya baru tahu kalau rumah ini pernah digerebek polisi karena jadi penampungan ginjal," kata Nurdin saat keluar pintu rumahnya, Jumat (21/7/2023).

Nurdin mengatakan, selama ini dia tidak pernah melihat rumah itu diberi garis polisi. Sehingga wajar dia, tidak tahu jika rumah tersebut pernah digunakan sesuatu yang melanggar hukum.

"Setahu saya tidak pernah ada garis polisi. Mungkin karena tidak ditemukan barang buktinya," katanya.

Ditemui terpisah Ketua RT Jalan Piano 9, Blok F5 Nuraisyah mengaku kaget masih ada yang tanya masalah penjualan ginjal yang terjadi di perumahannya. "Masih aja ditanyain mas. Sudah lama itu," kata Nuraisyah saat keluar pintu rumahnya yang siap berangkat ke pengajian.

Nuraisyah mengaku tidak bisa menceritakan lagi, karena kasusnya sudah ditangani pihak kepolisian. Namun, dia mengaku kecolongan ada orang yang sewa rumah warganya ternyata digunakan untuk usaha yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undang.

"Iya kita kecolongan. Ternyata rumah itu ganti-ganti penghuninya," katanya.

Nuraisyah mengatakan, pemilik rumah itu bernama Ibu Dirman. Niatnya rumah itu tidak akan disewakan lagi kepada orang yang benar-benar belum dikenalnya.

"Sekarang mau ditempati sendiri saja sama yang punya," katanya.

 

Suasana rumah kontrakan di Perumahan Villa Mutiara Gading, tepatnya di Jalan Piano 9, Blok F5 Kelurahan Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi Jawa Barat, diduga menjadi lokasi penampungan organ ginjal jaringan internasional terlihat sepi. Jumat(21/7/2023). - (Republika/Ali Yusuf)

Pada hari ini, Kadiv Hubinter Polri Irjen Polisi Krishna Murti menerangkan, proses pengambilan ginjal para korban TPPO dilakukan Rumah Sakit (RS) Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Dikatahui, Preah Ket Mealea merupakan RS militer yang ada di bawah kendali pemerintah Kamboja. 

Sehingga, menurut Krishna, pihak kepolisian harus berkomunikasi dengan otoritas yang lebih tinggi di Kamboja dalam penanganan kasus TPPO dan penjualan ginjal. Bahkan, pihaknya harus berkomunikasi dengan staf khusus Perdana Menteri untuk meminta bantuan memulangkan para korban TPPO.

"Kami juga berkomunikasi ketat dengan kepolisian Kamboja, kami juga berkomunikasi ketat dengan Interpol Kamboja dan Alhamdulillah kasus ini bisa terungkap,” ungkap Krishna Murti saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Kamis (20/7/2023).

Krishna mengakui pihak penyidik sempat mengalami kesulitan atau kendala pada saat melakukan penelusuran dan penanganan kasus TPPO penjualan ginjal. Namun, anehnya untuk kasus TPPO lainnya pihak Mabes Polri tidak menemukan kesulitan atau kendala termasuk pada saat penyelidikan di Kamboja.

“Pada kasus TPPO (ginjal) ini kami mengalami kesulitan. Nah kesulitan itu menjadi tantangan bagi kami. Sehingga kami harus melakukan koordinasi yang ketat dengan didukung oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) khususnya karena kami tidak punya atase Polri di Kamboja, kami meng-employing dukungan dari atase pertahanan,” ujar Krishna.

Menurut Krishna Murti, kendala itu didapat lantaran belum adanya kesepahaman antarkelembagaan di Indonesia dengan di Kamboja terkait TPPO modus penjualan ginjal. Ia juga mengakui jika hal itu lumrah terjadi, karena memang setiap negara memiliki persepsi dan peraturan atau perundang-undangan yang berbeda terhadap jenis tindak pidana. Salah satunya mengenai kegiatan jual-beli organ tubuh manusia, termasuk ginjal.

“Belum ada kesepahaman tentang kasus-kasus TPPO, baik di lingkungan internal dalam negeri domestik khususnya kementerian lembaga, termasuk KBRI, sebagian menganggap ini belum terjadi tindak pidana,” jelas Krishna Murti.

 

Hal yang harus diperhatikan penderita ginjal - (Republika.co.id)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler