Hutan Kota Cawang Diisukan Jadi Tempat Kumpul LGBT, PKS: Harus Jadi Warning
"LGBT ini bukan lagi isapan jempol," kata Ismail.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hutan Kota Cawang yang berlokasi di Jalan Perindustrian, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, ramai diperbincangkan belakangan ini lantaran menjadi sarang berkumpulnya kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Menanggapi hal itu, legislator dari Partai Keadilan Sosial (PKS) menyatakan bahwa hal itu menjadi peringatan bagi berbagai pihak.
“Ini harus sudah jadi warning bagi semua pihak, baik pemerintah, lembaga-lembaga non pemerintah, maupun masyarakat bahwa ini bahaya. LGBT ini bukan lagi isapan jempol, tapi seiring waktu sudah mulai terlihat indikasi ancamannya buat generasi,” kata anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PKS, Ismail, kepada Republika.
Ismail mengatakan, saat ini sudah mulai terlihat indikasi ancaman eksistensi kaum LGBT buat generasi muda. Hal itu juga berkaca dari sekelompok pemuda yang menggelar aksi kibarkan bendera pelangi –simbol kaum LGBT- di Monas, Jakarta Pusat. Disusul pula Hutan Kota Cawang yang merupakan fasilitas publik sebagai sarang mereka berkumpul.
Seluruh pihak, lanjutnya, harus meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan sejalan dengan bermunculannya indikasi-indikasi eksistensi kaum ‘menyimpang’ tersebut. Secara tegas, eksekutif perlu melakukan langkah-langkah pencegahan dan penindakan agar tidak lagi bermunculan.
“Selama ini belum bisa diwujudkan (upaya pencegahan), maka mereka (kaum LGBT) akan melihat setiap kesempatan itu untuk menunjukkan eksistensinya,” ujar Ismail.
Dia menyebut Pemprov DKI Jakarta harus konsisten melakukan upaya penindakan terhadap maraknya perkumpulan kaum LGBT. Bahkan perlu dilakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait jika dibutuhkan.
“Tanpa perlu khawatir melanggar HAM (hak asasi manusia),” tegas Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta tersebut.
Sebelumnya diketahui, terungkap bahwa Hutan Kota Cawang menjadi tempat berkumpulnya kaum LGBT selama sekitar satu dekade belakangan. Warga sekitar berpendapat, kaum tersebut nyaman berkumpul di lokasi tersebut karena dinilai strategis dan gelap.
Atas adanya keresahan dan keluhan dari masyarakat, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sempat melakukan penertiban. Juga melakukan pengawasan 24 jam nonsetop sejak Selasa (25/7/2023) lalu. Meski baru-baru ini Komnas HAM menyatakan bahwa penertiban yang dilakukan melanggar HAM, namun penindakan itu mendasar karena melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum.