Macron: Larangan Abaya di Sekolah Negeri Prancis Segera Berlaku

Prancis melarang abaya di sekolah dengan alasan sekulerisme.

EPA-EFE/FILIP SINGER
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis dalam beberapa waktu terakhir kembali menarik perhatian masyarakat internasional. Terbaru, Menteri Pendidikan Perancis Gabriel Attal mengumumkan abaya dan gamis dilarang digunakan di sekolah negeri, di awal tahun ajaran baru ini.

Atas kebijakan itu, Perdana Menteri Prancis Élisabeth Borne menolak tuduhan perlakuan tidak adil dengan diberlakukannya larangan ini. Ia menilai saat ini ada manipulasi dan upaya provokasi dari beberapa pihak, khususnya dari La France Insoumise atau France Unbowed (LFI), partai politik sayap kiri Prancis.

“Tetapi saya ingin menyatakan dengan sangat jelas, tidak ada stigmatisasi. Setiap warga negara kita, apa pun agamanya, mempunyai tempat masing-masing di negara kita,” ujar dia dikutip di France 24, Senin (4/9/2023).

Ia juga menegaskan ada satu prinsip yang perlu diperhatikan di negara tersebut, yaitu sekulerisme. Di sisi lain, ada undang-undang yang melarang penggunaan tanda atau pakaian apa pun oleh siswa yang berfungsi untuk menunjukkan afiliasi keagamaannya.

Menurut Borne, undang-undang tersebut harus diterapkan pada semua orang. Pihaknya pun akan memastikan hal itu diterapkan dengan benar.

Di sisi lain, Presiden Prancis Emmanuel Macron secara terbuka membahas aturan berpakaian di lingkungan pendidikan untuk pertama kalinya. Hal ini ia lakukan setelah mengunjungi sekolah profesional di wilayah Vaucluse, Prancis selatan.

“Kami tahu akan ada kasus mahasiswa yang menguji peraturan tersebut. Termasuk mahasiswa yang mencoba menentang sistem republik," ujar dia.

Baca Juga


Ia juga mengatakan orang-orang seperti ini tidak...

Ia juga mengatakan orang-orang seperti ini tidak akan bisa masuk ke kelas, sekaligus menekankan akan tetap mempertahankan hal tersebut, apa pun kondisinya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Attal menggambarkan anak perempuan dan laki-laki yang mengenakan pakaian jubah tersebut di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas sebagai pelanggaran terhadap sekulerisme, sebuah prinsip dasar bagi Prancis. Dia menuduh beberapa siswa menggunakan pakaian tradisional untuk mencoba mengganggu stabilitas sekolah.

Aturan baru ini menuai kritik. Platform media sosial dibanjiri dengan kritik, yang mengatakan bahwa pakaian longgar yang menutupi tubuh bukan merupakan tampilan agama yang mencolok, serta tidak boleh dilarang di ruang kelas.

Kerangka pelarangan tersebut adalah undang-undang tahun 2004 yang bertujuan untuk melestarikan sekularisme di sekolah-sekolah negeri Prancis. Undang-undang tersebut melarang penggunaan jilbab bagi umat Muslim, yang juga berlaku pada salib besar umat Kristiani, kippa Yahudi, maupun sorban besar yang dikenakan oleh umat Sikh.

Kebijakan tersebut disahkan setelah berbulan-bulan terjadi perdebatan sengit dan maraton di parlemen, yang mana Muslim mengklaim hal itu menstigmatisasi mereka. Meski demikian, undang-undang tersebut tidak berlaku bagi mahasiswa.

Mengenai bagaimana kebijakan baru yang akan ditegakkan itu, Macron mengatakan “personel tertentu” akan dikirim ke sekolah-sekolah yang “sensitif”, membantu kepala sekolah dan guru untuk berdialog dengan siswa dan keluarga, jika diperlukan.

Attal sebelumnya mengatakan 14.000 personel pendidikan dalam posisi kepemimpinan akan dilatih pada akhir tahun ini. Mereka ditugaskan untuk menangani penegakan hukum dan masalah lain dalam menegakkan sekularisme, yang mana 300.000 personel lainnya akan dilatih pada 2025.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler