Pakar Politik: Demokrat Terlalu Reaktif, PKS Mainnya Manis

Sikap terlalu reaktif terhadap duet Anies-Muhaimin dinilai bisa merugikan Demokrat.

Republika/Thoudy Badai
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) didampingi jajaran pengurus dan kader menyampaikan konferensi pers di kanto DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (4/9/2023). Dalam keterangannya AHY mengatakan bahwa Partai Demokrat sudah bukan bagian dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan sekaligus bersiap membuka ruang komunikasi dengan koalisi yang sudah ada saat ini. Selain itu AHY juga mengucapkan selamat kepada Capres Anies Baswedan dan Cawapres Muhaimin Iskandar usai mendeklarasikan sebagai pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrian Fachri, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga


Pakar politik sekaligus akademisi Universitas Bengkulu Panji Suminar menilai Partai Demokrat terlalu reaktif menghadapi dinamika pilpres yang terjadi dalam koalisi yang mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) untuk Pemilu 2024. Ia pun menilai sikap reaktif itu akan menjadi kerugian bagi Demokrat.

"Demokrat terlalu reaktif, sedangkan dalam politik itu tidak ada hitam atau putih, wilayahnya di abu-abu. Saya menilai ini jadi kerugian bagi Demokrat," kata Panji, Jumat (8/9/2023).

Seharusnya, kata Panji, Demokrat mengikuti pola PKS ketika menghadapi arah politik yang akan memasangkan Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar. Yakni, tidak langsung frontal dan langsung bereaksi keras.

"Harusnya tenang seperti PKS belum menunjukkan menyetujui atau menolak, kemudian setelah dipikirkan matang-matang baru menentukan pilihan. Manis mainnya PKS itu," kata Panji. 

Namun berbeda dengan Demokrat yang terlalu reaktif menanggapi dinamika politik, yang akhirnya tidak mungkin kembali ke dalam barisan koalisi mendukung Anies Baswedan. Kemudian, lanjut dia kalau pun ikut gerbong yang mendukung Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo sebagai presiden, tentunya Demokrat tidak memiliki posisi tawar yang kuat, dan akhirnya berada pada posisi sebagai pengikut saja dalam koalisi.

Sementara kalau berada dalam KPP, koalisi yang mendukung Anies, kata Panji, semestinya Demokrat punya posisi tawar meski tidak mendapatkan kursi cawapres. Kemungkinan, menurut Panji, dengan tawar-menawar mengusung Anies tanpa posisi cawapres, Demokrat yang akan mendapatkan porsi lebih banyak kursi di kabinet jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden.

"Sayangnya Demokrat mengunci posisi cawapres, yang namanya politik tidak bisa mengunci seperti itu, ada dinamika-dinamika dan penyesuaian. Dengan bergabungnya PKB seharusnya menambah kekuatan kemenangan, dan Demokrat punya posisi tawar karena dari awal mengusung Anies, tapi sekarang posisi itu lepas," kata dia.

Begitu juga efek ekor jas dari sosok Anies Baswedan sebagai capres tentu akan menguntungkan Demokrat karena loyalis Anies Baswedan berpotensi memberikan suara mereka juga pada Demokrat di Pemilu legislatif 2024. Hal itu kini lepas dari genggaman Demokrat.

Lalu ketika mau bergabung ke koalisi yang mengusung Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto sebagai calon presiden, Demokrat tidak punya posisi tawar untuk kursi cawapres. 

"Pas jadi presiden Prabowo atau Ganjar yang didukung Demokrat, Demokrat juga tidak punya kekuatan juga untuk mendapatkan porsi kursi di kabinet karena menjadi barisan paling belakang masuk koalisi. Makanya sikap reaktif ini menurut saya merugikan Demokrat sendiri," ucapnya.

Kemungkinan sikap reaktif dari partai Demokrat terhadap dinamika politik pilpres tersebut, menurut Panji, bisa saja karena kader dan pengurus partai tersebut masih muda baik soal umur atau pun soal berpolitik.

"Saya rasa politik itu tidak ada yang hitam atau putih, Demokrat bisa saja kembali ke KPP namun tentu belum tentu menjadi penentu, ibaratnya jadi anak baru di koalisi. Atau yang memungkinkan merapat ke Prabowo," ujarnya.

 

Manuver Surya Paloh antara Anies dan Jokowi. - (Republika/berbagai sumber)

 

Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, juga membandingkan perbedaan sikap Partai Demokrat dan PKS dalam merespons wacana duet bacapres Anies Baswedan dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Ujang menyebut, Demokrat sebagai partai paling kecewa di Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) atas wacana duet tersebut.

"Saya pikir tidak ada penolakan dengan PKS, beda dengan Demokrat yang habis-habisan menolak, merasa dikhianati, sedangkan PKS adem-adem aja," ujar Ujang dalam keterangannya, Jumat (1/9/2023).

Kekecewaan Demokrat dipicu Anies yang dinilai melanggar kesepakatan dan membentuk koalisi secara sepihak bersama Partai Nasdem dan PKB. Selain itu, nama Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang digadang-gadang paling potensial mendampingi Anies sebagai cawapres, justru berubah.

"Tentu Demokrat kecewa, merasa dikhianati, merasa dibohongi. Maka, ya, dari situ kelihatannya Demokrat akan mencari alternatif pilihan dan bisa saja mendukung poros yang lain," ujarnya.

Namun demikian, keputusan Demokrat, termasuk apakah bergabung dengan koalisi lain, akan diputuskan oleh rapat Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sementara, PKS masih sangat mungkin berada di koalisi Nasdem mendukung Anies. Hal itu karena PKS diuntungkan dari sisi elektoral ketika mendukung Anies.

Sebab, sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, PKS telah mengasosiasikan figur mantan Gubernur DKI Jakarta itu dekat dengan PKS. "Jadi, kalau misalkan PKS itu keluar dari Anies itu rugi, tidak ada dapat efek elektoral. Selama ini kan dari dulu sejak mulai Pilkada DKI itu ya PKS itu melekat dengan Anies Baswedan, makanya saya melihat bisa jadi PKS tetap akan bersama Nasdem," ujarnya.

"Karena kalau ke partai koalisi yang lain, ke Prabowo atau ke Ganjar, itu tidak memberikan efek elektoral, tapi kalau dengan Anies masih bisa dapat, masih menguntungkan bagi PKS. makanya saya pikir tidak ada penolakan dengan PKS," katanya.



Ke depannya, Demokrat diprediksi akan merapat ke kubu koalisi PDIP yang mendukung bakal capres Ganjar Pranowo. Ketua Badan Pembina Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK) DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron mengungkapkan bahwa adanya wacana untuk mempertemukan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.

"Ya mohon doa restunya lah. Komunikasinya (dengan PDIP) masih terus dijalin, artinya kan komunikasi itu beberapa level," ujar Herman di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (4/9/2023).

 

"Mudah-mudahan nanti pada akhirnya bukan hanya Demokrat, keinginan Demokrat, tapi Tuhan mentakdirkan bahwa ada pertemuan yang kemudian mengarah kepada koalisi yang betul-betul memiliki kesamaan visi misi dan saya kira tadi yang menjunjung tinggi etika," ujar Herman, menambahkan.

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto langsung menanggapi wacana mempertemukan Megawati dengan SBY. Peluang tersebut ada, tapi PDIP saat ini tengah membahas pembentukan tim pemenangan nasional untuk Ganjar Pranowo.

"Kita kan semuanya bertahap, mengadakan pemenangan pemilu. Jadi setelah tim pemenangan nasional itu nantinya komposisinya lengkap, ditargetkan pada Rabu depan," ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta.

Ia tidak spesifik menanggapi terkait peluang pertemuan dua mantan presiden Republik Indonesia itu Hasto hanya menekankan, terkait agenda dengan partai politik lain masih menunggu arahan dan ada tahapannya.

"Maka agenda-agenda penggalangan termasuk partai politik, itu selanjutnya nanti akan dilakukan menunggu arahan dari seluruh dewan pengarah yang terdiri dari para ketua umum partai politik," ujar Hasto.

Peta koalisi setelah Golkar dan PAN deklarasi dukung Prabowo Subianto. - (Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler