Ini Penjelasan Putusan MK Sehingga Mengapa Gibran Bisa Maju Jadi Cawapres
Putusan MK soal gugatan batas usia cawapres diwarnai occuring dan dissenting opinion.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar,Fauziah Mursid
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023) memutuskan mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara ini dihujani perbedaan pendapat dari hakim MK.
Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam gugatan ini, Almas memilih Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum. Permohonan ini diterima MK pada 3 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.
Selanjutnya, MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik Indonesia. Dari putusan ini, dua hakim MK menyatakan occuring opinion atau alasan berbeda yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic. Lalu ada pula empat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo.
Jumlah dissenting opinion hakim ini lebih banyak dari perkara batas usia capres/cawapres yang diketok hari ini. Sebab dalam perkara lain yang menyatakan dissenting opinion hanya Suhartoyo dan Guntur Hamzah.
MK menjelaskan alasan menerima sebagian gugatan ini karena batas usia capres/cawapres tidak diatur resmi dalam UUD 1945. Hakim MK Manahan MP Sitompul menyebut MK dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan open legal policy kerap berpendirian bahwa legal policy dapat saja dikesampingkan. Ini bisa terjadi apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
"Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat oleh mahkamah," ujar Manahan.
Manahan juga menekan norma yang berkaitan dengan legal policy adalah sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. Sebab jika diatur tegas dalam konstitusi maka undang-undang tidak boleh mengatur norma yang berbeda dengan norma konstitusi. Dalam beberapa putusan terakhir, lanjut Manahan, MK memberikan tafsir ulang dan mengesampingkan open legal policy.
"Seperti dalam perkara yang terkait batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara," ujar Manahan.
Manahan menerangkan putusan itu diambil karena MK memandang norma yang dimohonkan pengujinya dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy.
"Seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang dan atau bertentangan dengan UUD 1945," ujar Manahan.
Pertimbangan putusan MK bertentangan dengan pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam) Mahfud MD sebelumnya, yang menilai MK tidak berwenang mengubah aturan tentang batas usia capres dan cawapres. Menurut dia, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang sedang diuji materi di MK, hanya boleh ditentukan atau diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator.
Sementara gugatan tersebut bergulir, di sejumlah daerah mulai bermunculan baliho yang mempromosikan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Gibran kini berusia 36 tahun, dan dengan adanya putusan MK yang dibacakan hari ini, Gibran menjadi berpeluang maju menjadi cawapres di Pilpres 2024.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad pun mengamini, putusan MK tersebut membuka peluang Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi bakal cawapres untuk Prabowo Subianto. Dasco menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan.
"Dengan putusan MK ini tidak hanya membuka peluang bagi Mas Gibran, tetapi bagi kepala daerah yang sedang menjabat ataupun mantan kepala daerah yang dipilih langsung oleh pilkada seperti dengan pilpres," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/10/2023).
"Itu juga terbuka kesempatannya untuk bisa menjadi (calon) presiden dan wakil presiden," sambungnya.
In Picture: Gugatan Batas Usia Capres dan Cawapres di MK
Pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, putusan MK kian kental nuansa politis dan cenderung membela satu orang semata untuk konteks 2024, yakni Gibran Rakabuming Raka. Hal ini karena meski MK menolak soal usia, tetapi putusan tersebut memasukan syarat lain bagi yang di bawah usia 40 tahun, yakni pernah menduduki jabatan yang didapat melalui pemilihan, termasuk Pilkada.
Ini berarti Gibran lolos syarat ini sebagai cawapres atau capres karena faktor pernah menjabat dalam jabatan negara melalui Pilkada Kota Surakarta. "MK tidak ingin dianggap secara vulgar memihak kepentingan keluarga Jokowi, tetapi subtansi putusan itu jelas mengelabui penggugat, karena faktanya usia di bawah 40 tahun sekalipun dapat mengikuti kontestasi," ujar Dedi dalam keterangannya, Senin (16/10/2023).
Dedi pun menilai, putusan ini lebih buruk dibanding mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal capres. Sebab, jika putusan batas usia dikabulkan maka semua warga negara bisa maju tanpa terkecuali.
Namun, dengan hanya dikabulkannya klausul minimal pernah berpengalaman menjadi kepala daerah hanya mengakomodasi pihak yang ada di kekuasaan. "Tetapi dengan putusan MK saat ini justru hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan. MK seperti sedang membodohi publik," ujarnya.