Tiga Kejanggalan Putusan MK, Satu di Antaranya Bisa Bikin Gibran Gagal Maju
Menurut pengamat hanya tiga Hakim MK sebetulnya yang setuju kepala daerah bisa maju.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan sebagian uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam gugatan ini, Almas memilih Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum. Permohonan ini diterima MK pada 3 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah, baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Namun, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan usai capres/cawapres dari seorang mahasiswa memicu tanda tanya. Putusan ini dinilai banyak kalangan berbau politis dan janggal.
Berikut kejanggalan-kejanggalan putusan MK yang dirangkum oleh Republika.
1. Picu kebingungan
MK sebelumnya telah memutuskan untuk menolak beragam gugatan terkait batasan usia capres dan cawapres, termasuk dari PSI, Partai Garuda, dan Emil darkdak dkk. Namun, pada pertengahan persidangan, gugatan dari seorang mahasiswa diterima yakni minimal capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah atau mereka yang pernah dipilih lewat pemilihan umum.
Menurut banyak pengamat hal ini cenderung mengarah untuk memuluskan salah satu kandidat yakni Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres. Gibran masih 36 tahun, dan merupakan wali kota Solo.
2. Putusan MK berubah dalam Sekejap
Hakim Mahkaham Konstitusi Saldi Isra dalam disenting oppinion atas putusan itu mengatakan, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini ia mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar "Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ujar Saldi.
Saldi menjelaskan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
Dengan adanya putusan itu, sadar atau tidak, gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, Wagub Jawa Timur Emil Dardak Dkk menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-unda
3. Putusan Hakim MK tak Bulat
(baca halaman berikutnya)
Menurut Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni dalam sebuah diskusi di televisi, dari sembilan hakim MK, disebut lima yang setuju dan empat menolak.
Tapi perlu digaris bawahi, kata, mengabulkan ini tidak bulat. Tiga mengabulkan sepanjang dia merupakan pejabat langsung yang dipilih melalui pemilu. Tapi dua lainnya memberi pengecualian bagi yang di bawah 40 yakni mereka menjabat gubernur atau pernah menjabat gubernur. Bukan wali kota atau bupati.
Sementara empat sisanya sudah jelas tidak mengabulkan. Ada yang menolak secara materi atau karena pemohon tidak punya legal standing. Artinya tidak ada keputusan yang bulat.
Ini mengapa putusan ini tidak bulat. Faktanya hanya tiga hakim yang setuju bupati dan wali kota bisa maju. Adapun dua hakim lainnya Einy Nurbaningsih dan Daniel Yusmic standarnya gubenur. Jadi sejatinya hanya tiga yang setuju.