Putusan MK Dinilai Terlalu Vulgar Tampilkan Kepentingan Politik
Chandra mengingatkan hukum harus mempertimbangan keinginan rakyat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai Mahkamah Konstitusi (MK) kian vulgar menampilkan kepentingan politik dalam putusannya. MK dipandang tak lagi menjaga konstitusi, melainkan kepentingan politik.
Kritik itu diutarakan Chandra terkait putusan MK yang berpeluang membuat Wali Kota Solo sekaligus keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Putusan ini resmi menjadikan MK sebagai Mahkamah Keluarga Jokowi.
"Bahwa terlalu vulgar menunjukkan tampak sarat kepentingan politik," kata Chandra kepada Republika, Selasa (17/10/2023).
Chandra menegaskan hukum tak bisa dijadikan alat meraih kekuasaan semata bagi keluarga Joko Widodo. Chandra mengingatkan hukum harus mempertimbangan keinginan rakyat.
"Tidak hanya mengikuti hawa nafsu saja supaya kepentingan tercapai dan kekuasaan bertahan, tetapi haruslah berjalan sesuai dengan koridor hukum dan amanah konstitusi," ujar Chandra.
Chandra menyayangkan putusan MK memang membuka peluang dinasti politik keluarga Jokowi. Padahal putusan itu dianggap penuh diskriminasi karena khusus mengabulkan klausul minimal pernah berpengalaman menjadi kepala daerah meski belum berusia 40 tahun. Klausul ini condong berpihak pada pencalonan Gibran sebagai Cawapres.
"Kenapa MK tidak mengabulkan saja gugatan terkait batas usia minimal capres. Sebab, jika putusan batas usia dikabulkan maka semua warga negara bisa maju tanpa terkecuali," ujar Chandra.
Selain itu, Chandra menyoroti kewenangan MK adalah menyatakan sebuah peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, materi pokok terkait gugatan capres-cawapres sudah melampaui kewenangan MK.
"Ketika MK mengambil materi muatan baru yang tidak tercantum dalam materi pokok undang-undang yang diuji, yaitu ketentuan baru pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, maka MK melampaui kewenangannya," ujar Chandra.
Sebelumnya, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023).
Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau Dissenting Opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.
"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.