Pakar dan Akademisi Dunia Sepakat Israel Melakukan Genosida

Israel memiliki sejarah panjang melakukan kejahatan terhadap rakyat Palestina.

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Warga Palestina membawa jenazah pria yang meninggal setelah serangan udara Israel di Al Falouja di kota Jabalia, Gaza utara.
Rep: Lintar Satria Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pakar kejahatan negara sepakat Israel melakukan genosida. Dalam pernyataan yang ditandatangani 23 pakar dari universitas-universitas di Inggris, Australia dan Amerika Serikat (AS) mendefinisikan kejahatan negara sebagai penggunaan kekerasan ilegal untuk tujuan politik.

Baca Juga


Pakar juga mengatakan negara memiliki kemampuan tidak proporsional untuk menyembunyikan, mendistorsi, dan menyangkal penggunaan kekerasan kriminal mereka, serta menggagalkan bentuk-bentuk pertanggungjawaban selanjutnya.

"Sudah menjadi konsensus komunitas ilmiah saat ini kita menyaksikan risiko dan kecenderungan ini terjadi dalam bentuk yang sangat intensif di Gaza, Yerusalem, dan daerah pendudukan Tepi Barat. Warga Palestina yang berada di dalam batas-batas wilayah 1948 (sekarang Israel) juga mengalami tingkat ancaman yang tinggi," kata para pakar dalam pernyataannya, Selasa (7/11/2023).

"Secara kumulatif, bukti-bukti yang ada menunjukkan dengan tegas bahwa dalam respon yang tidak proporsional terhadap pembunuhan Hamas pada tanggal 7 Oktober, negara Israel menggunakan kapasitas militernya yang luas dan canggih untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat Palestina dalam skala yang begitu besar sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa hal tersebut merupakan tahap pemusnahan genosida."

Para pakar mengatakan Israel memiliki sejarah panjang melakukan kejahatan terhadap Gaza dan rakyat Palestina. Mereka mengutip penulis definisi genosida Raphael Lemkin yang mengatakan genosida tidak terbatas pada aksi pembunuhan massal tapi termasuk rencana terkoordinasi yang bertujuan merusak dasar-dasar esensial kehidupan sebuah bangsa.

"Genosida adalah sebuah proses yang dirancang untuk menghapus sebuah bangsa 'secara keseluruhan atau sebagian' berdasarkan identitas ras, etnis, atau agama mereka," kata para pakar.

Mereka menambahkan pengumuman Israel mengenai 'pengepungan total' terhadap Gaza, dengan memutus pasokan air, makanan, listrik, dan obat-obatan, merupakan pernyataan yang jelas mengenai niat untuk melakukan genosida terhadap rakyat Palestina.

"Dengan 'sengaja memaksakan suatu kelompok kehidupan yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan fisik secara keseluruhan atau sebagian' (Konvensi Genosida 1948, Pasal 2)."

Para pakar menambahkan niat Israel melakukan genosida juga diwujudkan dalam pernyataan-pernyataan dari para pemimpinnya. Mereka mengutip juru bicara Angkatan Bersenjata Israel (IDF) Daniel Hagari yang mengatakan 'penekanannya adalah pada kerusakan dan bukan pada akurasi' ketika merujuk pada pemboman udara Israel.

Sementara Netanyahu mengancam 'meratakan' Gaza dan mengubahnya 'menjadi pulau reruntuhan'. Anggota Knesset, Arial Kallner, mengungkapkan 'hanya ada satu tujuan: Nakba [malapetaka]! Nakba yang akan mengerdilkan Nakba tahun 1948'.

Menteri Pertahanan Yoav Gallant memerintahkan pengepungan total terhadap Gaza, ia menggambarkan warga Palestina sebagai 'manusia binatang', dan Presiden Israel Isaac Herzog mengatakan tidak ada warga sipil tak berdosa di Gaza.

"Sekali lagi sudah jelas dan eksplisit niat Israel bersifat genosida. Di Jerman Nazi, Rwanda, Kamboja, dan Burma/Myanmar, julukan 'non-manusia' mendukung dan mempermudah pemusnahan massal terhadap 'orang lain'," kata pakar.  

"Saat ini, kekhawatiran kami bukan pada apakah pernyataan-pernyataan tersebut merupakan bukti yang meyakinkan secara hukum atas niat kriminal tertentu, melainkan pada bagaimana penggunaan bahasa terang-terangan merendahkan martabat manusia tersebut berkontribusi pada proses genosida yang saat ini memasuki fase yang sangat intens dan berbahaya," tambah mereka.

Pakar mengatakan genosida Israel terhadap Palestina tidak dimulai pada 7 Oktober 2023. Bagi warga Palestina, proses genosida dimulai pada tahun 1917 dengan Deklarasi Balfour, ketika Inggris 'menghadiahkan' negara 'mereka' kepada kaum Zionis Eropa yang mencari tanah air Yahudi.

"Hal ini secara nyata terwujud dalam perang 1948, yang mengarah pada pembentukan Negara Israel. Selama bencana ini (Nakba), ribuan orang Palestina terbunuh dan 750.000 orang terusir dari tanah air mereka, selamanya tidak diberi hak untuk kembali oleh negara Israel," kata mereka.

Pakar melanjutkan selama puluhan tahun telah terjadi perampasan, pendudukan, kekerasan struktural, penggusuran paksa dan diskriminasi apartheid.

"Apa yang kita saksikan sekarang adalah akhir dari genosida yang dilakukan negara Israel terhadap penduduk asli Palestina. Apa yang kita saksikan adalah Nakba kedua," kata mereka.

Para pakar menjelaskan kejahatan yang dilakukan aktor-aktor negara hanya memungkinkan bila adanya dukungan untuk mengeksekusi tindakannya dan membuat mereka lolos dari hukum. Saat ini Israel dapat melakukan kejahatan karena adanya dukungan militer baik dari negara asing seperti Amerika Serikat maupun pemasok senjata internasional.

Israel juga dapat dukungan dari aktor-aktor negara lain, media arus utama negara-negara Barat, perusahaan hubungan masyarakat dan intelektual zionis. Para pakar mengakui lembaga-lembaga negara memiliki kapasitas untuk  mendistorsi tindakan kriminal mereka dan menghindari hukum, terutama ketika didukung sumber daya yang memadai. Mereka juga memiliki kemampuan untuk tetap diam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler