Tim Penasihat Hukum Klaim KPK tak Bisa Buktikan Gratifikasi Rafael Alun

Tim penasihat hukum mengeklaim KPK tak bisa membuktikan gratifikasi Rafael Alun.

Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rafael Alun Trisambodo. Tim penasihat hukum mengeklaim KPK tak bisa membuktikan gratifikasi Rafael Alun.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim penasihat hukum mantan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menghadirkan saksi yang bisa membuktikan penerimaan gratifikasi senilai 90 ribu dolar AS. Padahal perbuatan awal yang disangkakan pada Rafael Alun ialah penerimaan uang 90 ribu dolar AS. 

Baca Juga


Tim penasihat hukum Rafael Alun, Junaedi Saibih menyebut KPK hingga persidangan saksi fakta terakhir tak mampu membuktikan penerimaan 90 ribu dolar AS oleh Rafael Alun.

"Hari ini terakhir saksi fakta, sampai hari ini tidak ditemukan ada saksi yang mengatakan ada pemberian uang sebesar 90 ribu dolar AS ke Pak Alun, padahal waktu dia ditahan pertama sangkaan dugaannya menerima sebesar 90 ribu dolar AS, dan itu disebutkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri saat penahanan," kata Junaedi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (8/11/2023).

Junaedi mengatakan, pada saat Rafael Alun diumumkan sebagai tersangka, KPK menyebut akan membuktikan penerimaan 90 ribu dolar AS oleh Rafael Alun. Tapi hingga akhir persidangan saksi fakta, KPK tak mampu membuktikannya.

Junaedi menyebut sidang pekan depan mengagendakan pemeriksaan saksi ahli dan saksi meringankan. "Saya ingin mengatakan bahwa orang itu ditahan dengan objek penerimaan gratifikasi 90 ribu dolar AS, tapi tak bisa dibuktikan. Ini kan masalah proses penegakan hukum. Minggu depan saksi ahli KPK, dan Rabu saksi meringankan dari pihak kami, penasihat hukum," ujar Junaedi. 

Junaedi juga mengkritisi isi dalam safe deposite box (SDB) milik Rafael Alun yang disita oleh KPK. Junaedi menyebut saat itu Menkopolhukam Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebut isi dalam SDB Rafael Alun senilai Rp 37 miliar. Tapi dalam berkas perkara yang dimiliki tim penasihat hukum, nilai SDB Rafael Alun berkurang menjadi Rp 32 miliar.

"Yang diumumkan Pak Mahfud MD dan PPATK itu mereka membuka dan menghitung pada saat belum ada penyidikan mereka membuka dan menghitung mereka menyampaikan isi SDB Pak Alun adalah Rp 37 miliar, dan ketika kita menerima berkas persidangan, dokumen sita uang itu disita dari Bank Mandiri sebanyak Rp 32 miliar, menurun," ucap Junaedi.

Junaedi menekankan SDB tidak bisa dibuka begitu saja tanpa adanya kehadiran dari pihak Rafael Alun. "Jadi kan SDB ini tidak boleh dibuka karena kan ini seperti sewa rumah, setidaknya harus ada perwakilan dari si penyewa, baik itu Pak Alun, kuasa hukum atau keluarga, nah ini tidak pernah ada," kata Junaedi.

Atas dasar itu, Junaedi berharap sebelum masuk persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli, pihak KPK bisa menghadirkan pihak Bank yang bisa membuktikan isi SDB Rafael Alun.

"Nah kita sebenarnya ingin pihak Bank Mandiri ini diperiksa, kenapa? Karena ada perbedaan barang bukti. Kami hanya ingin memastikan fakta pada saat Mandiri membuka itu dan menghitung itu tanggal berapa, apakah sebelum atau sesudah penyidkan dan yang kedua uangnya berapa yang dihitung karena dari Pak Alun tidak ada perwakilan. Kalau yang diumumkan awal Rp 37 miliar lalu yang disita Rp 32 miliar, lalu Rp 5 miliarnya kemana? Kita mau memastikan saja," kata Junaedi.

Dalam dakwaannya, JPU KPK menyebut Rafael menerima gratifikasi Rp 16,6 miliar dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga Rp 100 miliar. 

Aksi Rafael turut melibatkan keluarganya. Pertama, istri Rafael yaitu Ernie Meike Torondek ikut disebut dalam dakwaan. Ernie diajak Rafael melakukan pencucian uang. Modusnya, Ernie menduduki jabatan dari perusahaan yang didirikan Rafael, salah satunya PT Arme. 

Kedua, nama Mario Dandy yang merupakan anak Rafael ternyata muncul dalam surat dakwaan. Mario sudah terkenal lebih dulu karena terjerat kasus penganiayaan berat terhadap anak berinisial DO. Nama Mario digunakan Rafael guna menyamarkan harta. 

Berikutnya, anak Rafael lain juga disebutkan dalam surat dakwaan yaitu Christofer Dhyaksa Dharma dan Angelina Embun Prasasya. Bahkan ibu Rafael, Irene Suheriani Suparman terlibat pencucian uang itu.

Atas perbuatannya, Rafael didakwa melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Rafael juga didakwa dengan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP atas kejahatan gratifikasinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler