Makin Banyak Mahasiswa Alami Gangguan Jiwa, Keluarga Jadi Faktor Pemicu?
Peran keluarga sangat penting dalam mencegah gangguan jiwa generasi di Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peran keluarga sangat penting dalam mencegah gangguan jiwa generasi di Indonesia. Pasalnya, banyak yang mengalami masalah kejiwaan ini disebabkan dari lingkungan keluarga mereka sendiri.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto mengatakan, dari skrining kesehatan jiwa mahasiswa baru di suatu kampus, misalnya, ditemukan bahwa banyak atau hampir 60 persen mahasiswa yang mengalami anxiety atau kecemasan. Hanya 40 persen mahasiswa yang terbilang normal ketika melalui uji skrining dengan metode self reporting quisionaire (SRQ) tersebut.
“Dari 60 persen anxiety itu ada tingkat ringan sampai parah sekali dan yang parah ini mencapai 25 persen,” kata Aji ketika menyampaikan materi dalam diskusi dan deklarasi di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (!4/11/2023).
Namun, dia menekankan bahwa ini hanyalah salah satu contoh kasus di sebuah kampus tertentu. Dia tidak menggeneralisasi seluruh mahasiswa atau kampus.
Aji mengatakan, angka kecenderungan mahasiwa untuk bunuh diri juga meningkat sampai 10 persen sehingga itu sudah mengkhawatirkan. Hal ini turut menunjukan bahwa gangguan jiwa bukan hanya identik dengan orang gagal, karena mahasiswa yang terbilang sukses juga punya ide mengakhiri hidup.
“Misalnya, ada sebagian yang mau bunuh diri itu dari pascasarjana, besoknya wisuda juga bahkan pemimpin organsiasi mahasiswa, lalu apa sebabnya? Ternyata bukan persoalan kegagalan, tapi cemas, depresi itu dari sebagian mereka itu 70 persen persoalannya muncul dari keluarga, kaitanya dengan kleluarga sangat mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa,” kata dia.
Aji mengatakan jika kampus bisa menangani urusan prestasi akademik mahasiswa, tapi untuk kesehatan mental juga perlu dibentengi dari lingkungan keluarga. Sering kali keluarga tidak sadar dengan peran ini sehingga perlu adanya nilai sistem yang berubah dari orang tua kepada anak.
Sebenarnya, menurut dia, terkadang pertanyaan sederhana, namun menusuk dari orang tua juga bisa menjadi tekanan bagi anak. Contohnya, pertanyaan, “kapan kamu wisuda”, “kapan punya gaji dua digit” dan sebagainya. Ilmu parenting juga tentu sangat dibutuhkan di zaman seperti sekarang.
Aji menambahkan, niat bunuh diri di kalangan anak muda sudah masuk ke kategori genting (clinically important). Kategori itu mengarah pada angka toleransi yang bisa mengarah bunuh diri. Indikasi ini diinterpretasikan perlunya intervensi penanganan masalah kesehatan jiwa.
Interpretasi hasil skrining kesehatan jiwa mahasiswa baru menunjukkan keinginan bunuh diri berada di angka 10,8 persen, di bawah kategori seriously considered suicide yang dipatok pada angka 18,8 persen-25,5 persen. Solusi atas benturan nilai antargenerasi dapat dijembatani dengan sesering mungkin dilakukan dialog antargenerasi. Perubahan sikap, perilaku, dan cara pikir generasi muda saat ini sangat dipengaruhi revolusi teknologi dan informasi, termasuk di dalamnya sosial media. Perubahan pengaruh inilah yang sering kali tidak dipahami generasi yang lahir sebelumnya.