Alasan MK (tanpa Anwar Usman) Tolak Gugatan Syarat Capres-Cawapres yang Loloskan Gibran

MK tolak permohonan yang meminta syarat capres-cawapres minimal pernah jadi gubernur.

Republika/Prayogi
Hakim Konstitusi Suhartoyo (tengah) bersama Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah (kiri) dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh (kanan) saat memimpin sidang panel Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan tersebut terkait batas usia minimal capres cawapres yang sudah diputuskan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika

Baca Juga


 

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/11/2023) menolak permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Perkara bernomor 141/PUU-XXI/2023 itu dipandang MK layak ditolak karena aturan syarat usia capres/cawapres sudah final. 

Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan putusan tersebut secara hukum sudah berlaku semenjak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Dengan demikian ketentuan syarat usia capres/cawapres bersifat final dan mengikat. 

"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata hakim MK Enny Nurbaningsih dalam sidang pengucapan putusan pada Rabu (29/11/2023).

MK menegaskan, terhadap putusan syarat usia capres/cawapres tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal itu disebabkan MK sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang.

"Sistem itu mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," ujar Enny.

Selain itu, MK mengakui pelanggaran etika berat yang menjerat mantan Ketua MK Anwar Usman saat penyusunan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Tetapi, hal itu menurut MK tak sekaligus membuat putusan tersebut bisa disidangkan ulang dengan majelis hukum yang berbeda. Hal Ini sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

"Pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi," ucap Enny.

MK juga menerangkan UU Kekuasaan Kehakiman sebagai undang-undang yang sifatnya lebih umum daripada UU MK. Sehingga, sesuai asas hukum lex specialis derogate legi generali, maka beleid yang bersifat khusus akan mengesampingkan beleid yang sifatnya umum. 

"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus," ujar Enny.

Putusan MK Berubah Setelah Adik Ipar Jokowi Ikut Rapat - (infografis Republika)

 

Permohonan diketahui diajukan oleh mahasiswa bernama Brahma Aryana. Pemohon dalam petitumnya memohon frasa pada pasal digugat diubah menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi, yakni gubernur dan/atau wakil gubernur."

Pemohon menyebut pasal digugat telah melanggar prinsip kepastian hukum dengan mendalilkan adanya pelanggaran etik dalam pemeriksaan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagaimana telah diputuskan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Terkait hal itu, MK menyoroti putusan MKMK yang tidak bisa mengomentari atau menilai substansi putusan MK. Oleh karena itu, MK menyebut tidak ada pilihan lain selain menegaskan bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Dari putusan MKMK dimaksud, telah membuktikan dan menegaskan bahwa MKMK tidak sedikit pun memberikan penilaian bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum, tetapi justru menegaskan bahwa putusan dimaksud berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat," ucap Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh membacakan pertimbangan MK.

Lebih lanjut, MK menyatakan sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana dipersoalkan pemohon maka MK tetap pada pendiriannya bahwa pada umumnya berkenaan dengan penentuan batas usia merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang.

"Oleh karena itu, terhadap persoalan dalam permohonan a quo pun, mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai dan merumuskannya," ucap Daniel.

Dalam perkara ini, MK memutus tanpa keterlibatan mantan Ketua MK, Anwar Usman yang kini berstatus hakim biasa. Anwar Usman belum lama ini disanksi Majelis Kehormatan MK tak boleh mengadili perkara yang berpotensi konflik kepentingan.

Sanksi terhadap Anwar menyusul deretan pelaporan terhadap MK akibat MK yang memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawapres pada Senin (16/10/2023). Sebanyak enam gugatan ditolak.

Tetapi, MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang kemudian membuat Gibran Rakabuming Raka menjadi memiliki kualifikasi sebagai cawapres meski belum berusia 40 tahun, tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim.

Komik Si Calus : Dinasti - (Daan Yahya/Republika)

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler