THN Amin Apresiasi Putusan DKPP terkait Pelanggaran Etik Ketua KPU

THN Amin menilai keputusan DKPP di masa injury time seperti lolongan di ruang hampa.

Dokpri
Ari Yusuf Amir
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, para peserta dan tim suksesnya semakin menggencarkan gerakan untuk memperbanyak dukungan. Semua kubu sama-sama ingin meraih suara terbanyak.

Baca Juga


Ketua Umum Tim Hukum Nasional Pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (THN AMIN), Ari Yusuf Amir mengapresiasi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pelanggaran etik Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).  

Ari menjelaskan,  putusan DKPP  hadir di masa injury time yang memberi sanksi Peringatan Keras dan Terakhir pada Ketua KPU RI, karena telah melakukan pelanggaran etik dengan menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024, tanpa mengubah PKPU No 19 tahun 2023 terkait syarat usia capres cawapres usai keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90 tahun 2023. 

“Tindakan komisioner KPU tersebut melanggar Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu,” kata advokat senior itu. 

Pada pasal 11 huruf A dan huruf C Peraturan DKPP, Ari menjelaskan,  dinyatakan bahwa (A) dalam  melaksanakan prinsip berkepastian hukum, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Dan (C) melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, dan menaati prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 

Selain melanggar pasal 11 (huruf A dan C), lanjut Ari, tindakan komisioner KPU juga melanggar prinsip profesional dan prinsip ketaatan pada asas kecermatan dalam bertindak seperti diatur dalam Pasal 15 huruf C Peraturan DKPP. Serta melanggar asas Kepentingan Umum seperti yang diatur dalam Pasal 19 huruf a, yang mengatur penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak: menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan.

Pasal-pasal yang digunakan DKPP untuk memvonis komisioner KPU itu menunjukkan ada pelanggaran serius berupa melanggar UU dan peraturan lain terkait Pemilu. Pelanggaran atas keputusan KPU itu memiliki bobot berbeda dengan pelanggaran atas perilaku pribadi Ketua KPU, seperti yang dilakukan oleh ketua KPU dalam kasus yang dikenal dengan "wanita emas". 

“Dan dalam dua kasus itu DKPP menjatuhkan sanksi yang sama, Peringatan Keras dan Terakhir. Tentu publik juga bertanya apa makna frasa " terakhir, " karena dalam kasus "wanita emas" juga disanksi peringatan keras dan terakhir,” terang Ari.

Menurut Ari, Keputusan DKPP di masa injury time seperti lolongan di ruang hampa , karena tak mengubah apapun. Dan di negeri ini, putusan melanggar etika hanya dianggap " nyanyian sumbang " yang hanya akan melahirkan " dengung " di ruang publik. Terbukti keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, tidak berdampak apapun.

Meski putusan atas pelanggaran etik tidak berdampak apapun, ungkap Ari, namun perlu dicatat bahwa rakyat Indonesia masih menjunjung nilai-nilai moral. Dalam konteks moral itulah Pemilu 2024 berada di ujung tanduk masalah legitimasi. Pemilu bisa saja memenuhi syarat legal (karena peraturan yang diubah dengan melanggar etika), tapi kehilangan legitimasinya. Pemilu bisa saja kehilangan pengakuan publik atas keabsahannya karena berbagai pelanggaran etik yang dipertontonkan, dari mulai putusan MK, keterlibatan presiden dan para menteri hingga ASN, pembagian sembako yang patut diduga ditujukan mempengaruhi pemilih untuk mendukung salah satu paslon, hingga pelanggaran etik yang dilakukan komisioner KPU.

Menurut Ari, masa depan Pemilu 2024 saat ini tergantung pada para penyelenggara negara dan penyelenggara Pemilu. Bila mereka bersedia melakukan "tobat" dengan menarik diri dari segala perilaku curang dan tidak patut, sehingga rakyat benar-benar diberi ruang untuk memilih berdasar hati nurani, maka hasil Pemilu akan memperoleh legitimasinya. Oleh sebab itu KPU dan Bawaslu sebaiknya taat hukum dan menjaga imparsialitas. Tindak tegas segala kecurangan, tak perlu takut, karena rakyat akan membela yang benar.

“Bila KPU, Bawaslu dan penyelenggara negara tidak melakukan "tobat" maka darurat konstitusi membayangi hasil Pemilu 2024,” ujar Doktor Ilmu Hukum ini.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler