'Banjir' Amicus Curiae di MK, Guru Besar Unpad: Karena Rasa Keadilan Masyarakat Terusik

"MK yang memulai, maka MK yang harus mengakhiri," kata Susi.

Republika/Prayogi
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) besama hakim konstitusi lainnya memimpin sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dengan pemohon pasangan no urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024). Agenda sidang lanjutan tersebut yaitu Pembuktian Pemohon (Mendengarkan keterangan ahli dan saksi Pemohon serta Pengesahan alat bukti tambahan Pemohon). Tim Hukum Ganjar-Mahfud menghadirkan 9 ahli dan 10 saksi dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tersebut.
Rep: Febryan A  Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad), Profesor Susi Dwi Harijanti menyoroti ihwal membludaknya jumlah orang atau kelompok yang mengajukan diri menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan terkait perkara sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, 'banjir' amicus curiae itu merupakan akumulasi dari masyarakat yang terusik rasa keadilannya sepanjang gelaran Pilpres 2024.

Baca Juga


"Ini (banjir amicus curiae) karena rasa keadilan masyarakat yang terusik. Keterusikan itu terakumulasi lewat amicus curiae di MK," kata Susi ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/4/2024).

"Puluhan amicus curiae ini memperlihatkan bahwa Pilpres 2024 itu memang menjadi pilpres yang dipertanyakan oleh banyak pihak," ujarnya menambahkan.

Per Jumat (19/4/2024), MK telah menerima 47 orang atau kelompok yang mengajukan diri menjadi amicus curiae. Para sahabat pengadilan itu sudah menyerahkan dokumen pendapatnya atau amicus brief kepada kesekretariatan MK untuk dijadikan pertimbangan bagi majelis hakim dalam membuat putusan. Pihak MK mengakui, baru dalam sengketa Pilpres 2024 ada amicus curiae dan jumlahnya langsung banyak.

Susi menjelaskan, akumulasi dari terusiknya rasa keadilan masyarakat itu bermula dari Putusan MK Nomor 90. Putusan tersebut membukakan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres meski belum berusia 40 tahun. Belakangan, Majelis Kehormatan MK menyatakan bahwa hakim Anwar Usman melanggar kode etik dalam proses pembuatan putusan yang menguntungkan keponakannya itu.

Menurut Susi, putusan 90 itu adalah titik awal munculnya berbagai pelanggaran etik lain dan ketidakadilan sepanjang gelaran Pilpres 2024. "Coba MK dulu tidak memutuskan putusan 90, mungkin pemilu akan berjalan dengan damai dalam artian kompetisinya fair," ujarnya.

Setelah putusan 90, kata Susi, rasa keadilan masyarakat kembali terusik oleh proses pendaftaran Gibran sebagai cawapres di KPU. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan para komisioner KPU melanggar kode etik dalam proses penerimaan pendaftaran Gibran.

Rasa keadilan publik, kata dia, kembali terusik kerika Presiden Jokowi mengatakan, bahwa UU Pemilu memperbolehkan presiden berkampanye untuk salah satu pasangan capres-cawapres. Menurut Susi, Jokowi keliru mengartikan pasal.

Kemudian, rasa keadilan masyarakat terusik lagi oleh dugaan Presiden Jokowi menyalahgunakan bansos untuk kepentingan pemenangan Prabowo-Gibran. Lalu, dugaan Presiden Jokowi mengerahkan penjabat (pj) kepala daerah untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

Masalahnya lagi, ujar Susi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak tuntas memproses semua dugaan pelanggaran Presiden Jokowi itu. Tidak tuntasnya proses di Bawaslu itu semakin mempertebal ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.

Susi menyebut, semua rasa ketidakadilan yang dialami masyarakat itu pada akhirnya disalurkan lewat amicus curiae sengketa hasil Pilpres 2024, tahapan terakhir yang menjadi kunci penentu hasil pemilihan. Menurut dia, MK lewat putusannya nanti harus mengoreksi semua ketidakadilan pemilu yang muncul selama ini.

"MK yang memulai, maka MK yang harus mengakhiri," kata Susi, sosok yang pernah menjadi salah satu kandidat hakim konstitusi itu.

 

Delapan hakim konstitusi kini diketahui sedang menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan putusan atas perkara sengketa hasil Pilpres 2024. RPH digelar secara maraton hingga Ahad (21/4/2024), tepat sehari sebelum sidang pembacaan putusan.

Dalam rapat tersebut, para hakim mendalami/membahas 14 amicus brief. Adapun 33 amicus brief lainnya tidak dibahas karena diajukan setelah tenggat waktu.

Dalam perkara ini, pasangan capres-cawapres Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sebagai pemohon sama-sama meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 yang menyatakan Prabowo-Gibran meraih 96.214.691 suara (terbanyak). Mereka juga meminta MK memerintahkan KPU melaksanakan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa melibatkan Prabowo-Gibran.

Petitum itu diajukan karena mereka yakin bahwa pencalonan Gibran tidak sah. Mereka juga mendalilkan bahwa pelaksanaan Pilpres 2024 diwarnai pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan Presiden Jokowi demi memenangkan Prabowo-Gibran.

MK telah mengirimkan surat panggilan kepada para pihak untuk menghadiri sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 yang akan digelar pada Senin (22/4/2024). Terdapat delapan surat panggilan yang dikirimkan.

"Panggilan sudah dikirimkan kepada seluruh pihak, baik perkara nomor 1 dan nomor 2. Panggilannya sama, jam atau pukul 09.00 WIB di ruang sidang pleno," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).

Perkara nomor 1 adalah permohonan yang diajukan pasangan capres-cawapres Anies-Muhaimin. Perkara nomor 2 diajukan oleh pasangan Ganjar-Mahfud. Termohon dalam perkara ini adalah KPU, sedangkan pasangan Prabowo-Gibran adalah pihak terkait.

Fajar menyebut, sidang pembacaan putusan akan dilakukan untuk masing-masing perkara sehingga akan ada dua putusan. Kendati begitu, sidang digelar di ruangan yang sama.

Dia menambahkan, para pihak akan menyampaikan konfirmasi kehadiran dalam satu atau dua hari ke depan. Pihak yang hadir diwakili maksimal 14 orang.

"Kita panggil, nanti dalam waktu 1-2 hari kita konfirmasi siapa yang mau hadir, disesuaikan kuota kursi di ruang sidang kan begitu, seperti sidang-sidang sebelumnya," kata Fajar.

Fajar menyebut, delapan hakim MK kini sedang melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan putusan atas perkara sengketa Pilpres 2024. RPH digelar secara maraton hingga Ahad (21/4/2024), tepat sehari sebelum sidang pembacaan putusan.

 

MK memastikan, tidak akan terjadi kebuntuan atau deadlock dalam proses penentuan putusan atas perkara sengketa hasil Pilpres 2024, meski hakim yang terlibat berjumlah genap. Pasalnya, terdapat mekanisme berlapis yang sudah dipersiapkan untuk memastikan kebuntuan tidak terjadi.

"Tidak ada cerita deadlock dalam pengambilan keputusan di lembaga pengadilan. Kacau kalau deadlock itu, nggak bisa memberikan kepastian," kata Fajar.

Sidang sengketa Pilpres 2024 hanya ditangani oleh delapan hakim karena satu hakim lagi, yakni Anwar Usman tidak boleh terlibat lantaran ada konflik kepentingan dengan cawapres Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakannya. Fajar menjelaskan, mekanisme pengambilan keputusan mengacu kepada Pasal 45 UU MK. Pengambilan keputusan akan diawali dengan cara musyawarah. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka rapat penentuan putusan ditunda terlebih dahulu.

"Kalau tidak tercapai, sudah cooling down dulu, itu kata undang-undang. Diendapkan dulu, bisa ditunda nanti sore atau besok, tunda dulu (rapat penentuan keputusan)," ujarnya.

Kemudian, digelar rapat kembali dengan tetap menggunakan metode musyawarah. Apabila tetap tak tercapai kata sepakat, maka keputusan ditentukan dengan cara voting atau pemungutan suara setiap hakim. Keputusan yang disetujui oleh mayoritas hakim akan menjadi keputusan resmi majelis hakim.

"Diputus dengan suara terbanyak. Suara terbanyak itu berarti kalau 8 hakim, bisa jadi komposisinya 5:3, 6:2 atau 7:1 atau akhirnya bisa jadi 8 bulat," kata Fajar.

Seandainya perolehan suara berimbang, yakni empat hakim memilih opsi keputusan A dan empat hakim lainnya memilih opsi keputusan B, maka posisi ketua sidang pleno akan jadi penentu. Jika ketua sidang pleno menjadi salah satu dari empat hakim yang memilih opsi A, maka opsi tersebut lah yang menjadi putusan akhir MK. 

"Di pasal 45 UU MK Ayat 8 itu dikatakan kalau dalam hal suara terbanyak tidak bisa diambil keputusan, katakanlah imbang 4:4, maka di mana suara ketua sidang pleno itulah keputusan MK," kata Fajar. Ketua sidang pleno penentuan keputusan perkara sengketa hasil Pilpres 2024 adalah Ketua MK Suhartoyo.

Prabowo-Gibran menang di semua provinsi di Pulau Jawa. - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler