Ebrahim Raisi: Penjaga Moral Iran

Raisi mengambil sikap tegas dalam perundingan untuk mengaktifkan perjanjian nuklir.

EPA-EFE/SHAHZAIB AKBER
Sebuah papan reklame bergambar Presiden Iran Ebrahim Raisi dipajang di Karachi, Pakistan, 22 April 2024.
Rep: Lintar Satria Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Helikopter Presiden Iran Ebrahim Raisi dan rombongannya, termasuk Menteri Luar Negeri Hossein Amir-Abdollahian jatuh saat hendak pulang dari daerah perbatasan Azerbaijan. Media Iran melaporkan ia dan semua penumpang helikopter tewas dalam kecelakaan tersebut.  

Baca Juga


Washington Post melaporkan media pemerintah Iran mengatakan tidak ada korban selamat yang ditemukan di lokasi kecelakaan. Raisi merupakan orang yang disebut akan menjadi Pemimpin Tertinggi Iran selanjutnya. Menggantikan Ayatollah Ali Khamenei yang berusia 85 tahun.

Raisi yang berusia 63 tahun mengambil sikap tegas dalam perundingan untuk mengaktifkan kembali perjanjian nuklir dengan enam kekuatan dunia lainnya. Ia melihat peluang meraih keringanan sanksi-sanksi AS dengan menahan program nuklir Iran.

Kelompok garis keras Iran semakin tegas setelah AS menarik pasukannya dari Afghanistan dan perubahan kebijakan Washington. Pada 2018 lalu mantan presiden AS Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JPOA) dan menjatuhkan kembali sanksi-sanksi pada Iran.

Teheran membalasnya dengan melanjutkan program nuklirnya. Langkah Iran menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Pemerintah Presiden AS Joe Biden mencoba menghidupkan kembali JCPOA dalam perundingan tak langsung dengan Iran.

Posisi tegas Raisi juga memicu perpecahan di dalam negeri. Satu tahun setelah ia memenangkan pemilihan umum, para ulama di tingkat menengah meminta pemerintah menegakan hukum "hijab dan kesucian" yang membatasi perilaku dan pakaian perempuan.

Beberapa pekan kemudian, Mahsa Amini tewas dalam tahanan polisi moral yang menuduh perempuan kurdi itu melanggar hukum. Kematian perempuan muda itu memicu unjuk rasa di seluruh negeri yang memberikan pukulan keras bagi ulama yang sudah berkuasa sejak 1979.

Kelompok hak asasi manusia melaporkan, ratusan orang tewas termasuk lusinan personel keamanan yang terlibat dalam penindakan keras terhadap demonstran. Saat itu Raisi mengatakan "tindakan kerusuhan tidak dapat diterima."  

Peran dalam Perundingan Nuklir

Pemimpin tertinggi Iran, Khamenei memberikan kepercayaan penuh pada Raisi, terutama pada sikap tegasnya dalam perundingan nuklir dan pengunjuk rasa anti-pemerintah. Namun kegagalan pemerintah ulama untuk memulihkan ekonomi yang diperburuk sanksi-sanksi Barat menurunkan popularitasnya.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan sebagai jaksa muda, Raisi turut mengawasi eksekusi mati ratusan tahanan politik di Teheran pada tahun 1988. Saat perang Iran-Irak memasuki tahun kedelapan.

Kelompok hak asasi Amnesty International mengatakan, panel pengawas eksekusi mati yang dikenal "komite kematian" itu dibentuk di seluruh Iran. Terdiri dari hakim agama, jaksa dan pejabat badan intelijen Iran. Amnesty Internasional mengatakan anggota panel itu memutuskan nasib ribuan tahanan yang dihukum dalam sidang yang hanya berlangsung beberapa menit. Sementara jumlah pastinya di seluruh Iran belum terkonfirmasi tapi Amnesty mengatakan estimasi minimal sekitar 5.000 orang dieksekusi saat itu.  

"Bila seorang hakim, seorang jaksa, membela keamanan masyarakat, ia harus dipuji, saya bangga dengan setiap posisi yang pegang dalam membela hak asasi manusia sejauh ini," kata Raisi pada 2021 lalu.

Ia merupakan salah satu tokoh ulama Muslim Syiah di Iran dan ditunjuk Khamenei sebagai ketua badan yudikatif pada 2019. Tidak lama kemudian ia juga terpilih sebagai wakil ketua dewan yang terdiri dari 88 ulama yang bertanggung jawab memilih pemimpin tertinggi Iran.

“Raisi adalah pilar sistem yang memenjarakan, menyiksa dan membunuh orang karena berani mengkritik kebijakan negara,” kata direktur eksekutif kelompok advokasi Center for Human Rights in Iran (CHRI) yang berbasis di New York, Hadi Ghaem. Iran membantah menyiksa tahanan.

Raisi berbagi pandangan dengan Khamenei tentang Barat. Populis antikorupsi itu juga mendukung upaya swasembada ekonomi Khamenei dan strateginya memperkuat kelompok-kelompok proksi di seluruh Timur Tengah.

Saat rudal Israel membunuh perwira-perwira Garda Revolusi Iran di Suriah pada bulan April lalu. Iran membalasnya dengan mengerahkan ratusan rudal dan drone ke wilayah Israel.

Raisi mengatakan setiap pembalasan Israel ke wilayah Iran dapat mengakibatkan tidak ada lagi yang tersisa dari “rezim Zionis.” "Raisi seseorang yang dipercaya Khamenei, Raisi dapat melindungi warisan pemimpin tertinggi," kata deputi direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara lembaga think-tank Chatham House, Sanam Vakil.

Raisi menjabat sebagai wakil kepala kehakiman selama 10 tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung pada tahun 2014. Lima tahun kemudian AS menjatuhkan sanksi kepadanya atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi pada 1980-an.

Saat mencalonkan diri sebagai presiden, Raisi kalah dari Hassan Rouhani yang pragmatis dalam pemilihan tahun 2017. Kegagalannya dikaitkan dengan rekaman audio dari 1988 yang muncul pada tahun 2016 dan konon menyoroti perannya dalam eksekusi tahun 1988.

Dalam rekaman tersebut, mendiang Ayatollah Hossein Ali Montazeri, yang saat itu menjabat sebagai wakil pemimpin tertinggi, berbicara tentang pembunuhan tersebut. Putra Montazeri ditangkap dan dipenjara karena merilis rekaman tersebut.

Raisi lahir pada tahun 1960 dari keluarga religius di kota suci Syiah Iran, Mashhad. Ia kehilangan ayahnya pada usia lima tahun, namun mengikuti jejaknya menjadi seorang ulama.

Sebagai seorang siswa muda di pesantren di Kota Qom, Raisi ikut dalam protes melawan Shah yang didukung Barat pada revolusi 1979. Kemudian, kontaknya dengan para pemimpin agama di Qom membuatnya menjadi sosok yang dipercaya di lembaga peradilan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler