APBN 2025 Ditetapkan Sebelum Prabowo Dilantik, Ini 16 Catatan Ketua Banggar DPR RI 

Ada beberapa agenda yang perlu dilanjutkan Prabowo dalam APBN 2025

Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah mengatakan ada beberapa agenda yang perlu dilanjutkan Prabowo dalam APBN 2025
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—APBN 2025 akan dilaksanakan  Prabowo Subianto. Namun, pembahasan dan pengesahan APBN 2025 dilaksanakan sebelum Prabowo resmi memimpin pemerintahan atau sebelum dilantik jadi Presiden.

Baca Juga


“Oleh karena itu, kami ingin meng-address beberapa agenda strategis yang perlu dilanjutkan di era beliau (Prabowo, red), sehingga mempermudah pemerintahannya melakukan penyesuaian untuk pelaksanaan program program strategis tersebut,” ujar Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah saat Rapat Penyampaian Pemerintah Atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Lebih lanjut, Said Abdulah menyampaikan beberapa cacatan penting terkait RAPBN 2025.

Pertama, gejolak eksternal makin sulit kita prediksikan. Ketegangan geopolitik telah menjelma menjadi ancaman laten aktivitas ekonomi.

Karena hal itu, dalam sekejap harga komoditas global bisa melonjak, kurs rupiah terhempas dalam hitungan jam dan hari.

“Dalam sekejap pula, merambat, menekan ketahanan ekonomi nasional. Tekanan eksternal ini mengancam karena belum kuatnya sektor pangan, energi, dan tata kelola devisa,” ujar Said.

Kedua, kondisi dalam negeri menghadapi hempasan angin buritan. Hempasannya tidak mendorong ekonomi nasional, malah menjebak perekonomian nasional dalam pusaran yang nyaris tak berujung.

Booming harga komoditas pada 2022 kian memperkaya lapisan ekonomi atas, kesenjangan sosial kian menganga,” ujar Said.

Ketiga, angka kesenjangan sosial kian melebar. Semester 1 2024, gini rasio telah menyentuh 0,388 lebih tinggi dibandingkan semester 1 2023 yang berada dilevel 0,384.

“Kita bandingkan dengan 2019, sebelum pandemi covid, angka gini rasio saat itu di level 0,380. Kue kemakmuran harus dinikmati bersama, kecenderungan naiknya kesenjangan sosial ini harus dikendalikan oleh pemerintah,” ujar Said yang juga Ketua Bidang Perekonomian DPP PDIP Perjuangan ini.

Keempat, seluruh agenda pembangunan yang kita jalankan selama ini belum mampu mengangkut seluruh rakyat keluar dari lembah kemiskinan ekstrem.

Padahal pemerintah punya target penghapusan kemiskinan esktrem pada 2024. Konvergensi program atas penghapusan kemiskinan ekstrim telah dijalankan.

“Jika realisasinya hingga 2024 penghapusan kemiskinan ekstrim belum tuntas, kita fasilitasi melalui RAPBN 2025 agar pemerintah tetap bisa menuntaskannya,” ujar Said.

Kelima, pentingnya meningkatkan kualitas SDM Indonesia ke depan dengan mengatasi persoalan stunting. Hal ini terkait dengan masa depan generasi bangsa.

Target angka prevalensi stunting ke depan masih cukup menantang, yakni 14,0 persen pada tahun 2024. Pada tahun 2023 masih berada pada angka 21,5 persen.

“Jika target prevelensi sebesar 14,0 persen beum juga tercapai, maka diperlukan upaya extraordinary, yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya,” ujar Said.

Keenam...

 

Keenam, hempasan angin buritan membuat perekonomian nasional “terjebak” dalam pusaran pertumbuhan lima persenan.

Padahal kita dikejar waktu untuk bisa naik kasta menjadi negara maju pada 2045. Momentumnya dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakhir pada 2036.

Ketujuh, alih alih memanfaatkan bonus demografi secara optimal, dukungan anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi.

“Lebih dari separuh angkatan kerja masih lulusan SMP. Tentu saja keadaan ini tidak bisa kita andalkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja yang makin kompetitif,” ujar Said.

Kedelapan, terlihat dalam struktur serapan tenaga kerja, porsi pengangguran pada 2022 didominasi oleh lulusan SMA sebesar 8,5 persen dan SMK 9,4 persen.

Said menyebut lulusan SMP ke bawah terserap sebagai tenaga kerja kasar, masuk sektor informal, dan upah murah. Mereka yang lulusan perguruan tinggi masuk ke sektor formal.

Data ini memberi arti, mereka yang lulus SMA dan SMK dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, kemungkinan besar dari rumah tangga kurang mampu.

“Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus lebih inklusif terhadap keluarga tidak mampu,” ujar Said.

kesembilan, Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut generasi Z (Gen Z) menganggur, tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan atau Not Employment, Education, or Training (NEET).

Lebih rinci, dari 44,47 juta penduduk berusia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5 persen atau 9,89 juta masuk dalam kategori NEET.

“Anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara harus mampu memberikan keterampilan anak anak muda kita ini menyongsong masa depan mereka,” ujar Said.

kesepuluh, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi.

Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR kita tahun 2014 tercatat 5,5.

Setelah hampir sepuluh tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 tahun 2023.

“Padahal negara negara peers, seperti Malaysia di angka 4,5, Thailand 4,4, Vietnam 4,6, dan Filipina bahkan jauh lebih rendah 3,7,” ujar Said.

 

Kesebelas, data di atas menjelaskan, semisal setiap penambahan Rp 1 miliar ouput dibutuhkan tambahan investasi sekitar Rp 6,5 miliar, sementara negara-negara peers hanya di kisaran Rp 3-4 miliar.

“Seharusnya pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia dan teknologi memberi kontribusi besar bagi turunnya koefisien ICOR nasional,” ujar Said

kedua belas, hilirisasi kita harapkan menjadi titian tangga menjadi negara industri. Catatan dari LPEM UI, hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12 persen hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati 43,94 persen, dan Presiden SBY 41,64 persen.

“Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini,” ujar Said.

Ketiga belas, insentif pajak atas kebijakan hilirisasi harus diimbangi dengan kewajiban untuk serapan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri manufaktur nasional.

Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam memberikan nilai tambah luas bagi kemakmuran rakyat.

keempat belas, hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa. Selama ini ekspor bahan mentah, lalu kita beli lagi ketika menjadi barang jadi, dan puluhan tahun kita lakukan ini.

“Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, namun memarkir devisanya ke luar negeri,” ujar Said.

Menurut Said, pimpinan Banggar DPR mendukung Pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional.

Kelima belas, agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang kita canangkan sejak Nawacita 1 juga belum mampu kita raih.

Food trade deficit kita beberapa tahun ini makin dalam, dimulai sejak 2007 hingga kini. Bahkan tahun lalu food trade deficit kita menyentuh 5,3 miliar USD, tertinggi dalam sejarah Republik.

Enam belas, demikian halnya sektor energi. Tingkat konsumsi minyak bumi kita sejak 2003 hingga kini lebih besar dengan produksi dalam negeri.

Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi kita lebih dari 1 juta barel per hari, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya 600-an ribu barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing.

 

Pada kesempatan out, Said mengatakan pimpinan Banggar DPR berharap problem fundamental diatas menjadi atensi pemerintah dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025. 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler