Anak-Anak Terancam Jerat Judi Online, Kejahatan yang Mengintai di Era Digital

Ada sekitar 80 ribu anak usia di bawah 10 tahun terlibat judi online di Indonesia.

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Warga melihat iklan judi online (ilustrasi). Judi online telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan di Indonesia, dan semakin meresahkan dengan keterlibatan anak-anak di dalamnya.
Rep: Bambang Noroyono Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID. JAKARTA — Judi online telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan di Indonesia, dan semakin meresahkan dengan keterlibatan anak-anak di dalamnya. Kemudahan akses internet dan kurangnya pengawasan orang tua dinilai menjadi faktor utama yang mendorong maraknya judi online di kalangan anak-anak.

Menurut data Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online, 80 ribu orang atau 2 persen dari total pemain judi online (2,32 juta orang) di Indonesia adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Sementara itu, 440 ribu pelaku judi online berusia 10-20 tahun; usia 21 sampai 30 tahun sebanyak 520 ribu orang; usia 30 hingga 50 tahun 1,6 juta orang; dan usia 50 tahun ke atas itu jumlah 1,35 juta orang.

“Ini rata-rata kalangan menengah ke bawah yang jumlahnya 80 persen dari jumlah pemain 2,32 juta,” ujar Ketua Satgas Pemberantasan Judi Online, Hadi Tjahjanto, pada Rabu (19/6/2024).

Dari data-data tersebut, kata Hadi, teridentifikasi transaksi-transaksi judi online yang terbagi ke dalam dua klaster. Klaster menengah ke bawah rentang Rp 10 sampai 100 ribu, dan untuk klaster kelas menengah ke atas antara Rp 100 sampai 40 miliar.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meyakini korban atau orang yang terlibat dalam judi online cukup banyak walaupun secara satu per satu sulit “ditunjuk hidung”. Tentang banyaknya korban judi online, KPAI pernah menerima laporan dari Serikat Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang mengadukan ada 2.000 siswa SD/SMP/SMA dan MI/MTS dan MA di Kabupaten Demak yang terpapar judi online dan game online yang berafiliasi dengan judi online.

Komisioner KPAI Sub Klaster Anak Korban Pornografi dan Cybercrime, Kawiyan, mengatakan para siswa yang ditengarai menjadi korban judi online tersebut memiliki kondisi kejiawan yang labil, halu, presstasi dan kehadiran di sekolah menurun, dan adanya penyimpangan penggunaan uang saku.  Dia menyebut, hasil survei yang dilakukan oleh PGSI tersebut merupakan masukan berharga bagi pemerintah yang harus ditindaklanjut dengan membuat kebijakan berupa pencegahan dan penanganan serta penegakan hukum.

Selanjutnya...

Baca Juga


 

KPAI juga mempercayai data yang disampaikan Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa jumlah korban judi online bukanlah angka yang kecil. PPATK mengungkap temuan perputaran uang di bisnis judi online senilai Rp 327 triliun sepanjang 2023. Sedangkan jumlah transaksi sebanyak 168 juta transaksi dengan jumlah orang 3,2 juta. PPATK juga pernah merilis bahwa besaran transaksi tersebut nilainya Rp 100 ribu ke bawah yang kebanyakan ibu rumah tangga dan anak-anak.
 
“Jadi, angka 2.000 anak korban judi yang disampaikan PGSI Kabupaten Demak baru merupakan angka kecil dari secara keseluruhan. Kalau ingin menyelamatkan anak-anak, maka selamatkan mereka dari judi online,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, baru-baru ini.

Kawiyan mengatakan, orang tua secara umum harus menanamkan pemahaman kepada anak-anak bahwa judi (online) merupakan aktivitas yang dilarang oleh hukum negara maupun hukum agama. “Agama melarang umatnya berjudi. Begitu juga dengan para guru di sekolah, mereka perlu menanamkan kembali pemahaman kepada siswa bahwa judi adalah perbuatan yang dilarang agama karena hukumnya haram. Bukan hanya guru agama yang perlu menyampaikan dogma tersebut tetapi juga semua guru bidang studi,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, orang tua dan guru di sekolah juga perlu menanamkan pemahaman bahwa judi itu dapat merugikan atau mersak sendi-sendi keuangan keluarga. Orang tua dan guru uga perlu cecara berkalan dengan pendekatan yang persuasive memeriksa aktivitas online anak-anak mereka. “Jangan sampai di luar pengawasan orang tua, anak-anak melakukan transaksi judi online di handphone mereka. Arahkan aktivitas handphone/online anak-anak untuk hal-hal yang menghibut, positif dan bukan judi online. Tetapi untuk dapat bersikap tegas terhadap anak-anak, orang tua juga harus dapat terhindar dari judi online,” jelasnya.
 
KPAI menyambut positif inisiatif Presiden Joko Widodo membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Perjudian Online berdasarkan Keppres No. 21 Tahun 2024. KPAI menilai, Satgas tersebut mestinya akan berjalan efektif mengingatkan melibatkan tiga Menteri Kordinator dan sejumlah Menteri dan Kepala Lembaga.

Kawiyan mengatakan, dilihat dari struktur keanggotaannya, mestinya Satgas Pemberantasan Perjuaian Online tersebut akan powerfull. KPAI berharap, Kementerian-kementerian dan Lembaga yang terlibat dalam Satgas tersebut berkeja optimal agar praktik perjuaian online dapat diberantas. KPAI mengusulkan agar dalam Satgas Pemberantasan Judi Online yang dibuat berdasarkan Keppres itu, melibatkan Kementerian dan Lembaga yang punya tugas dan fungsi di bidang perlindungan anak yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Selanjutnya...

 

Berdampak ke kesehatan mental

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra mengatakan judi online memiliki sejumlah risiko yang berdampak terhadap kesehatan. Salah satunya kesehatan mental sehingga perlu perlu dicarikan solusinya.

"Judi online berdampak pada kesehatan mental karena berpotensi pada gangguan mental seperti kecemasan, depresi, tidak berdaya bahkan keinginan bunuh diri," kata Novi pada Kamis (20/6/2024).

Novi menjelaskan, judi online juga berdampak terhadap kesehatan lainnya yaitu kesehatan fisik karena kelelahan kronis dan kesehatan emosi karena pecandu judi online cenderung sensitif. Kemudian, kesehatan sosial karena seseorang yang terindikasi kecanduan judi online biasanya tertutup dalam pergaulan dan interaksi.

Selanjutnya, kesehatan finansial karena tanggungan utang yang semakin besar. Dalam beberapa kasus, pelaku judi online bahkan sering melibatkan orang dekat sebagai penjamin utangnya tanpa seizin kerabat atau keluarga.

"Sering berbohong lantaran punya banyak utang atau pinjaman. Mereka juga lebih rentan punya masalah dengan orang-orang terdekat, sehingga menjadi sensitif terhadap konflik," ujarnya.

Novi menekankan pentingnya dukungan keluarga dan orang-orang terdekat sebagai bagian dari support system bagi seseorang yang telah kecanduan judi online. Menurut dia, perlu kesadaran diri untuk mau berinteraksi atau berdialog guna mencari akar permasalahan dan cara menghadapinya.

Jika judi online dilatarbelakangi motif ekonomi, maka segera cari solusi bersama mengatasi masalahnya. Tetapi jika masalah hal itu terkait dengan kesenangan, maka perlu membatasi akses serta mengalihkan dengan kegiatan lain yang lebih produktif dan bermakna seperti ibadah atau meditasi.

Dengan demikian, seseorang yang kecanduan judi online diharapkan dapat membangun kebermaknaan diri dan memperoleh kebahagiaan. "Bisa juga bergabung dengan komunitas kegiatan atau belajar yang positif lainnya. Jika segala upaya sudah dilakukan tapi tidak optimal, maka bisa minta bantuan profesional seperti psikolog untuk membantu," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler