Jangan Bawa-Bawa Gus Dur, Ini Beda Konteks Kunjungan Lima 'Intelektual' Nahdliyin
Israel saat ini jauh lebih brutal dari yang berunding dengan Pak Harto dan Gus Dur.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Masyarakat Indonesia yang kebanyakan tengah berempati terhadap penderitaan saudara-saudara mereka di Jalur Gaza dikejutkan dengan kunjungan lima “intelektual” Nahdliyin ke Israel disambi pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog. Salah satu peserta kunjungan menyinggung sikap Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid terkait hubungan diplomasi dengan Israel. Bagaimana konteksnya kala itu?
Menengok sejarah, negara Zionis Israel sejak mula sudah “ngebet” ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Keabsahan mereka tentu akan sangat terkatrol jika ada hubungan dengan negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia itu.
Sejarahnya, Indonesia sejak awal menolak pendirian negara Israel karena didasari pencaplokan dan penjajahan Palestina. Namun pada Desember 1949, Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion mencoba membujuk dengan mengirim telegram ucapan selamat kepada Sukarno dan Mohammad Hatta atas proklamasi kemerdekaan RI dari Belanda. Pada Januari 1950, Israel melalui surat Menlu Moshe Sharett juga mengirim telegram berisikan keputusan Israel mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Hatta membalas telegram-telegram itu dengan ucapan terima kasih. Namun ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membalas Israel dengan pengakuan kedaulatan serupa. Pada 1955, Indonesia bersama negara-negara Asia-Afrika juga menolak mengakui Israel dan mendorong kemerdekaan Palestina. Presiden Sukarno, pada 1962, mengeluarkan Israel dari kesertaan di Asian Games tahun itu.
Upaya membangun hubungan diplomasi kemudian dilanjutkan Israel pada dekade 1990-an. Kala itu, pada 1993, Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Israel Shimon Peres mengadakan pertemuan formal di sela-sela Konferensi HAM PBB di Wina. Pertemuan itu dilanjutkan dengan kunjungan mendadak Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin ke Jakarta untuk menemui Presiden Soeharto. Kedua kepala negara juga menggelar pertemuan lanjutan di Singapura dan New York.
Yang tak boleh luput dicatat, ada konteks penting yang melatari pertemuan-pertemuan tersebut. Yitzhak Rabin kala itu tengah terlibat perundingan damai dengan pimpinan Palestina Yasser Arafat. Perundingan keduanya menghasilkan Perjanjian Oslo yang menjamin kemerdekaan Palestina.
Dalam konteks itu Ali Alatas bertemu dengan Simon Peres. Indonesia hanya akan membuka kemungkinan pembukaan diplomatik jika perundingan damai itu membuahkan hasil dan ada kepastian soal kemerdekaan Palestina. Soeharto, dilaporkan Republika pada 1995, mengatakan bahwa dalam pertemuan di New York juga mengisyaratkan bahwa Israel harus mengembalikan semua wilayah yang dicaplok dari Palestina sebelum pembicaraan soal hubungan diplomatik kedua negara.
Pada akhir 1995, Benjamin Netanyahu sebagai pimpinan partai sayap kanan Likud menggelar demonstrasi besar-besaran menentang Perjanjian Oslo. “Matilah Rabin, matilah Rabin!” terdengar di antara pada peserta unjuk rasa. Salah satu yang hadir adalah menteri keamanan dalam negeri Israel saat ini, Itamar ben Gvir. Ia kala itu terekam memegang ornamen dari mobil Yitzhak Rabin.
“Kami dapat mobilnya, sebentar lagi kami dapat orangnya,” kata dia saat itu. Sebulan kemudian, Rabin ditembak mati. Pada November 1995, Yitzhak Rabin dibunuh oleh Yigal Amir, seorang ekstremis yang menentang ketentuan Perjanjian Oslo.
Amir dihukum atas pembunuhan Rabin dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Redup pulalah harapan solusi Israel-Palestina melalui jalan damai kala itu.
Pada 1999, giliran Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang membuka wacana hubungan diplomatik dengan Israel. Ia diketahui berkawan dengan Simon Perez yang terlibat dengan perundingan damai bersama Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat. Ketiganya dapat penghargaan Nobel Perdamaian pada 1994.
Simon Perez saat itu menjabat menteri kerja sama regional Israel. Sama seperti Soeharto, Gus Dur punya sarat yang berat atas pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel yang tak bisa ditawar. Pertama, kemerdekaan Palestina, dan selanjutnya penarikan Israel dari Dataran Tinggi Golan.
Hal -hal ini yang kemudian membuat kunjungan kali ini berbeda dan tak bisa disamakan konteksnya. Pada masa Soeharto, jelas ada upaya perdamaian dan pengakuan kemerdekaan Palestina dari Israel.
Presiden Israel Isaac Herzog tolak pengakuan Palestina... baca halaman selanjutnya
Sementara pemerintahan terkini di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Isaac Herzog punya kebijakan yang sama sekali berbeda. Netanyahu adalah salah satu pemimpin paling ultranasionalistik yang pernah memimpin Israel. Ia meluaskan penjajahan di Tepi Barat, berulangkali mengebom Jalur Gaza, mencaplok Dataran Tinggi Golan, menjadikan apartheid sebagai kebijakan resmi Israel, dan melancarkan genosida terkini. Ia juga menolak sama-sekali pengakuan negara Palestina.
Bagaimana dengan presidennya Isaac Herzog? Sebelas-dua belas. Dalam wawancara di program Piers Morgan pada Mei lalu, menyuarakan keberatan keras Israel terhadap pengumuman pengakuan negara Palestina oleh Irlandia, Norwegia, dan Spanyol.
Ia juga membesar-besarkan penolakan di masyarakat Israel atas negara Palestina. “Ada argumen besar di Israel mengenai kemampuan atau penerimaan gagasan negara Palestina.”
Hal itu sebelumnya sampaikan juga di pertemuan di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss pada Januari 2024.“Jika Anda bertanya kepada rata-rata orang Israel saat ini tentang kondisi mental mereka, tidak ada orang waras yang mau memikirkan apa yang akan menjadi solusi dari perjanjian perdamaian,” katanya dalam sebuah wawancara di panggung utama WEF dilansir the Times of Israel.
Di sela forum itu, Aljazirah melaporkan, Isaac Herzog juga menjadi sasaran tuntutan pidana, Jaksa penuntut Swiss saat itu mengkonfirmasi, Herzog dituntut karena Israel dituduh melakukan kejahatan perang di Gaza.
“Pengaduan pidana akan diperiksa sesuai dengan prosedur biasa,” kata Kantor Kejaksaan Agung Swiss pada Jumat, seraya menambahkan bahwa pihaknya akan menghubungi Kementerian Luar Negeri Swiss untuk memeriksa pertanyaan tentang kekebalan individu yang bersangkutan.
Secara teori, negara ketiga tidak memiliki yurisdiksi pidana terhadap kepala negara, kepala pemerintahan, dan menteri luar negeri negara lain saat ini. Alasan di balik pengaduan dan siapa yang mengajukan pengaduan tidak disebutkan secara spesifik.
Kantor berita AFP memperoleh pernyataan yang diduga dikeluarkan oleh orang-orang di balik pengaduan tersebut, berjudul “Tindakan Hukum Melawan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”. Dikatakan bahwa beberapa orang yang tidak disebutkan namanya telah mengajukan tuntutan kepada jaksa federal dan otoritas kewilayahan di Basel, Bern dan Zurich.
Pernyataan tersebut mengatakan bahwa penggugat sedang mencari tuntutan pidana sejalan dengan kasus yang diajukan ke Mahkamah Internasional (ICJ) oleh Afrika Selatan, yang menuduh Israel melakukan genosida dalam serangannya di Gaza.
Selepas serangan 7 Oktober, tepatnya sepekan kemudian, Isaac Herzog juga menyatakan dalam konferensi pers bahwa tidak ada warga sipil yang tidak bersalah di Gaza. Hal ini ia sampaikan saat itu, ketika ribuan warga Palestina berjuang untuk melarikan diri dari Gaza utara setelah militer Israel memerintahkan sekitar 1,1 juta dari mereka untuk mengungsi ke selatan menjelang operasi militer darat.
“Seluruh negara (Palestina) bertanggung jawab,” kata Herzog pada konferensi pers pada hari Jumat, 13 Oktober. “Tidak benar retorika mengenai warga sipil yang tidak sadar, tidak terlibat. Itu sama sekali tidak benar. Mereka bisa saja bangkit. Mereka bisa saja berperang melawan rezim jahat yang mengambil alih Gaza melalui kudeta,” ia menekankan.
Komentar itu salah satu yang digunakan Afrika Selatan dalam upaya meyakinkan Mahkamah Internasional bahwa genosida di Gaza adalah niat pemerintahan Israel.
Artinya, jika Soeharto dan Gus Dur bertemu dengan pemerintahan yang masih membuka harapan soal perdamaian dan pengakuan Palestina, kelima “intelektual” Nahdliyin justru bertemu dengan salah satu rezim Israel yang paling brutal.