Tolak Kebijakan Cleansing, Fraksi PDIP: Pemprov DKI Gagal Paham UU ASN

Jika cleansing terus dilakukan, dikhawatirkan mengganggu pembelajaran di sekolah.

Republika.co.id
Anggota Komisi E dari Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Ima Mahdiah.
Rep: Bayu Adji Prihammanda Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPRD Provinsi DKI Jakarta tegas menolak kebijakan pembersihan (cleansing) terhadap guru honorer. Kebijakan yang diambil Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta itu dinilai merugikan guru yang telah berkontribusi besar dalam dunia pendidikan.

Baca Juga


Anggota Komisi E dari Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Ima Mahdiah mengatakan, Pemprov DKI harus melakukan kajian lebih dalam terkait kebijakan cleansing. Pasalnya, kebijakan itu berpotensi mengganggu sistem pembelajaran di sekolah akibat banyaknya guru yang terdampak cleansing.

"Kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam, karena masih banyak sekolah yang kekurangan guru dengan kualifikasi linear. Jika kebijakan cleansing ini terus dilakukan, dikhawatirkan akan mengganggu sistem pembelajaran di sekolah-sekolah," kata Ima melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (18/7/2024).

Dia menjelaskan, penataan tenaga honorer merupakan kebijakan yang awalnya dibuat oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 66 UU tersebut, seluruh instansi pemerintah pusat maupun daerah harus melakukan penataan pegawai non-ASN dengan batas waktu hingga Desember 2024.

Kendati demikian, menurut dia, tujuan utama dari kebijakan itu adalah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan dengan hanya mengakui pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dan ASN, bukan untuk melakukan pemecatan atau pun pembersihan. "Jadi menurut kami, Pemprov sudah gagal memahami apa amanat dari UU tersebut," kata Ima.

Menurut Ima, kebijakan cleansing juga terjadi karena ada salah kelola dari proses rekrutmen tenaga honorer pendidikan. Pasalnya, banyak guru honorer yang diangkat kepala sekolah tidak melalui mekanisme pengangkatan yang sesuai prosedur, dipengaruhi oleh faktor subjektivitas, dan seleksi yang tidak sesuai ketentuan.

"Pengangkatan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan di sekolah dan tidak ada rekomendasi dari dinas pendidikan. Hal ini yang akhirnya menjadi temuan BPK," kata Ima.

Selain itu, banyak guru honorer yang secara pengalaman sangat mumpuni tetapi tidak mendapatkan kuota atau sertifikasi untuk menjadi ASN atau PPPK karena harus bersaing dengan lulusan baru. Status guru honorer yang tidak tersertifikasi di beberapa bidang menjadi hambatan besar bagi mereka.

"Mereka dipekerjakan oleh sekolah negeri karena terdaftar dalam data pokok pendidikan, meskipun tidak memiliki sertifikasi khusus yang diperlukan, seperti sertifikasi guru agama," kata Ima.

Serikat guru juga telah menyatakan bahwa guru honorer digaji oleh pusat melalui dana BOS via APBD, sehingga seharusnya tidak membebani daerah. Karena itu, ia menilai, kebijakan cleansing menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan daerah yang perlu segera diselesaikan.

"Kami berharap pemerintah daerah segera melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat untuk menemukan solusi terbaik bagi para guru honorer," kata Ima.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler