Kisah Proklamasi Indonesia 1942 di Gorontalo (Bagian I)
Pembacaan teks Proklamasi Indonesia ini tiga tahun lebih awal daripada 17/8/1945.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walau berumur singkat, Proklamasi Indonesia pernah terjadi tiga tahun sebelum Sukarno-Hatta melakukannya di Jakarta. Tepatnya pada 23 Januari 1942, masyarakat Gorontalo menjadi saksi peristiwa yang bersejarah itu.
Pada Jumat tanggal 23 Januari 1942 M atau 6 Muharram 1361 H, pemimpin dan rakyat Gorontalo mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi itu dibacakan tiga tahun lebih awal daripada Proklamasi Kemerdekaan RI yang teksnya ditandatangani Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Saat hari itu, khalayak ramai berkerumun di lapangan Kantor Kabupaten (Afdeling) Gorontalo. Sumber lain menyebutkan lokasinya adalah halaman Kantor Pos Gorontalo. Mereka menyaksikan momen bersejarah tersebut.
Yang bertindak sebagai pembaca teks Proklamasi RI 1942 adalah Nani Wartabone. Ia didampingi para rekan seperjuangannya, terutama RM Koesno Danoepojo. Oleh masyarakat lokal, keduanya disebut sebagai “Dwi Tunggal dari Tanah Sulawesi.”
Seperti dikutip dari buku Abad Besar Gorontalo, isi teks yang dibacakan itu adalah sebagai berikut. “Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita, bangsa Indonesia yang berada di sini, sudah merdeka, bebas lepas dari penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita Merah Putih. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional. Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban.”
Walaupun singkat, pembacaan teks Proklamasi RI 1942 itu amatlah bermakna. Sebab, kejadian tersebut menandakan besarnya spirit nasionalisme rakyat Gorontalo. Aspirasi mereka bukanlah untuk menjadi berdaulat atau mendirikan negara sendiri. Bukan pula menjadi bagian dari kekuatan luar, semisal Kekaisaran Jepang—yang berhasil mendepak Belanda dari Tanah Air sejak Maret 1942. Yang mereka inginkan adalah tegaknya Republik Indonesia, yang di dalamnya termasuk Gorontalo.
Kini, peristiwa itu dikenang sebagai Hari Patriotik 23 Januari. Barangkali, momen itu kerap luput dari perhatian masyarakat umum. Bagaimanapun, khususnya bagi orang Gorontalo, ini menandakan besarnya kecintaan mereka pada Tanah Air.
Gorontalo, tempat nasionalisme tumbuh ...
Joni Apriyanto dalam artikelnya, “Tumbuhnya Nasionalisme di Gorontalo: Sebuah Pencitraan Historiografi” menjelaskan, Gorontalo pada awal abad ke-20 menjadi tempat suburnya organisasi-organisasi sosial dan politik yang didirikan kalangan pribumi. Di daerah tersebut, hadirlah berbagai motor pergerakan, semisal Sarekat Islam (SI) atau Muhammadiyah.
Banyak pemuda Gorontalo yang aktif dalam organisasi-organisasi demikian. Mereka mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk mengembangkan upaya-upaya kebangkitan nasional. Apriyanto menilai, di balik tumbuhnya pergerakan kebangsaan di daerah tersebut, ada pengaruh dari dinamika atau tokoh-tokoh asal Jawa.
Pulau Jawa menjadi tujuan banyak elite lokal. Mereka mengidamkan, anak-anaknya mendapatkan pendidikan menengah maupun tinggi di sana. Nyatanya, selama bersekolah di kota-kota besar pulau tersebut sebagian remaja Gorontalo tidak hanya menekuni pembelajaran akademik. Anak-anak muda ini pun terlibat dalam organisasi-organisasi sosial dan politik pribumi.
SI, organisasi kebangsaan pertama di Tanah Air, lahir pada 16 Oktober 1905. Dalam perkembangannya kemudian, pergerakan ini memikat hati kaum muda terpelajar. Menurut Apriyanto, di Gorontalo SI dibawa oleh Karel Panamo dan Jusuf Sabah.
Tokoh sentral organisasi tersebut, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pada 1923 mengunjungi daerah itu guna menggembleng kesadaran rakyat. Tujuh tahun berselang, eksistensi SI di Gorontalo mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Rezim kolonial lantas melarang aktivitasnya. Nasib serupa dialami pula oleh Partai Indonesia (Partindo)—sebuah metamorfosis dari Partai Nasional Indonesia (PNI)—cabang Gorontalo yang diinisiasi Nani Wartabone.
Kaum muda Gorontalo tidak patah arang. Apriyanto mengatakan, sebagian dari mereka—termasuk Nani—beralih ke organisasi-organisasi yang bekerja khususnya di ranah sosial-budaya, alih-alih politik terbuka. Inilah awal mulanya Muhammadiyah berkembang pesat di sana.
Jusuf Otoluwa berjasa dalam memperkenalkan persyarikatan itu kepada masyarakat lokal. Ia mengenal organisasi tersebut saat mengikuti sekolah guru di Jakarta. Sejak 1928, perwakilan ormas Islam itu untuk Gorontalo resmi terbentuk. Seiring bergantinya tahun, perkembangannya kian signifikan.
Baca selanjutnya di sini