Kisah Proklamasi Indonesia 1942 di Gorontalo (Bagian II - Habis)
Pembacaan teks Proklamasi Indonesia ini tiga tahun lebih awal daripada 17/8/1945.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nani Wartabone adalah tokoh kunci di balik Proklamasi Indonesia 1942 di Gorontalo. Ia berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya, Zakaria Wartabone, adalah aparat Afdeling setempat.
Sejak kecil, Nani Wartabone memperoleh pendidikan formal di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial untuk pegawai lokal. Namun, tidak sekalipun anak muda ini bersimpati pada penjajah.
Telinganya selalu panas ketika mendengar para guru yang berkebangsaan Belanda mengagung-agungkan bangsa Barat sembari merendahkan bangsa Indonesia.
Untuk melanjutkan sekolah, Nani Wartabone muda hijrah ke Surabaya (Jawa Timur). Di sini, ia bertemu dengan banyak pemuda dan tokoh nasionalis. Sosok Sukarno, yang masyhur akan kepiawaian berorasi, amat menginspirasinya.
Pada 1928, Nani kembali ke Gorontalo. Ia membentuk perkumpulan tani (hulanga). Bukan hanya untuk mendukung perkembangan pertanian, organisasi itu juga dijadikannya sarana menyebarkan nasionalisme kepada masyarakat, khususnya kaum muda.
Akibat ditekan Belanda, Partindo bubar pada 1936. Cabangnya di Gorontalo pun ikut gulung tikar.
Sebagai inisiatornya, Nani tidak putus asa. Pascabubarnya Partindo, ia melanjutkan derap perjuangannya melalui Muhammadiyah.
Pada 1942, balatentara Jepang datang. Belanda yang ratusan tahun menjajah Nusantara ternyata keok, tidak mampu menghadapi serangan dari luar. Jadilah Nippon sebagai penguasa baru di Tanah Air.
Banyak orang Indonesia antusias dengan kemampuan Jepang mengusir Belanda. Termasuk di Gorontalo.
Namun, aparat kolonial Belanda di Gorontalo begitu licik untuk pergi begitu saja. Mereka membumihanguskan banyak fasilitas umum setempat agar tidak jatuh ke tangan Jepang.
Tindakan itu menyulut emosi warga. Hamzah Harun al-Rasyid dan Saprillah dalam artikel “The Nationality Movement in Gorontalo” menuturkan, momen itulah yang memicu perlawanan kaum muda setempat pada 12-23 Januari 1942.
Dengan dipimpin Nani Wartabone, ratusan orang muda bergerak sejak subuh hari dari Suwawa ke pusat kota Gorontalo. Bahkan, sebagian besar aparat keamanan membelot sehingga mengikuti massa anti-Belanda itu.
Peristiwa ini pecah pada pukul 09.00 WITA, pagi hari Jumat, tanggal 23 Januari 1942. Ketika itu, seluruh kantor pemerintahan Afdeling Gorontalo dapat dikuasai laskar-laskar anti-Belanda.
Nani bersama dengan para pejuang bergerak menuju lapangan depan rumah asisten residen. Di sana, mereka menurunkan bendera Belanda, dan menggantinya dengan bendera Merah Putih.
Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” lantas dinyanyikan. Teks proklamasi kemerdekaan RI—bukan “kemerdekaan Gorontalo”—dibacakan Nani melalui pengeras suara. Sesudah itu, rakyat dan para pemimpin lokal larut dalam euforia serta keharuan.
Dipadamkan Jepang ...
“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita, bangsa Indonesia yang berada di sini, sudah merdeka, bebas lepas dari penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita Merah Putih. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional. Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban.”
Demikian teks Proklamasi Indonesia yang dibacakan di Gorontalo, usai gerakan rakyat yang dipimpin Nani Wartabone dan kawan-kawan seperjuangan sukses. Mereka berhasil menguasai roda pemerintahan dari Belanda, usai aparat kolonial Eropa itu kabur begitu mendengar kabar kedatangan balatentara Jepang.
Tak hanya berhenti pada pembacaan teks Proklamasi. Nani dan rekan-rekan seperjuangan juga mengadakan rapat. Tujuannya adalah membentuk pemerintahan baru agar tidak terjadi kevakuman kekuasaan.
Hadirin pertemuan itu setuju menunjuk Nani sebagai pemimpin Pemerintahan Gorontalo. Koesno Danoepojo sebagai kepala perwakilan rakyat. MH Boeloeati dan AR Oientoe masing-masing selaku sekretaris dan wakil sekretaris. Demikianlah komposisi Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG), yang disepakati melalui rapat tersebut.
Tugas utama PPPG adalah menjaga keamanan dan melindungi segenap rakyat Indonesia di Gorontalo. Namun, kekuasaan de facto-nya hanya bertahan satu bulan. Militer Jepang kemudian datang ke daerah tersebut.
Nani segera menjadi target buruan pemerintahan pendudukan Nippon. Pada 30 Desember 1943, ia ditangkap polisi-rahasia Jepang. Dirinya langsung dibawa ke Manado sebagai tahanan.
Di dalam penjara, Nani dan rekan-rekannya mengalami banyak siksaan. Salah satunya adalah, ia pernah dibawa ke tepian pantai. Di sana, opsir Jepang mengubur seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala. Sehari semalam, kepalanya dipukul-pukul ombak dan hempasan pasir.
Barulah pada 6 Juni 1945, Nani dan kawan-kawannya dibebaskan dari tahanan. Hal itu seiring dengan melemahnya posisi Nippon dalam kancah Perang Dunia II. Pada 15 Agustus 1945, secara de facto kendali pemerintahan atas Gorontalo kembali ke pucuk pimpinan PPPG.
Sekira dua pekan kemudian, para tokoh Gorontalo akhirnya mengetahui kabar Proklamasi RI 17 Agustus 1945 di Jakarta. Seketika, Nani menyatakan daerahnya sebagai bagian dari wilayah RI, yang pemerintahannya dipimpin Dwi Tunggal, Sukarno-Hatta.