Faktor Internal yang Paling Mempengaruhi Kekalahan Umat Islam Selama Perang Salib
Umat Islam terpukul dalam beberapa kali Perang Salib
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kejayaan Perang Salib diyakini secara umum berada di tangan para musuh. Hal yang membuat Tentara Salib Pertama meraih kemenangan karena kaum Muslim tengah mengalami perpecahan dan kemunduran.
Kalau saja para Tentara Salib itu tiba sepuluh tahun lebih awal, mereka akan mendapat perlawanan keras dari pasukan Muslim. Sebab sepuluh tahun yang lalu masih kuat persatuan dari berbagai kelompok di negara yang diperintah oleh Maliksyah, sultan terakhir dari tiga Sultan Besar Turki Saljuk.
Demikian dijelaskan, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, Carole Hillenbrand dalam bukunya berjudul Perang Salib, yang diterbitkan Serambi.
Wilayah kekuasaan Turki Saljuk di wilayah Barat meliputi Irak, Suriah, dan Palestina. Namun, pembahasan ilmiah sebelumnya tentang keadaan kaum Muslim pada umumnya di tahun 488 Hijriyah atau 1095 Masehi tidak terlalu jauh beranjak dari penekanan bahwa dunia Islam mengalami perpecahan dan kemunduran. Hal itu terjadi akibat kehilangan pemimpin yang benar-benar kuat dan karena terjadinya pertikaian agama.
Carole Hillenbrand dalam bukunya mengungkapkan peristiwa yang menghancurkan umat Islam sepanjang tahun 485 H sampai 487 H atau 1092 M sampai 1094 M.
Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, yang dimulai sejak 485 H, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka dunia Islam dari Mesir hingga ke timur.
Pada 485 H atau 1092 M, tokoh terbesar dalam sejarah Kesultanan Saljuk, menteri (wazir) Nizhim al-Mulk, penguasa de facto kekaisaran Saljuk selama lebih dari tiga puluh tahun, dibunuh.
Sebulan kemudian, Maliksyah, sultan ketiga Saljuk, wafat secara mencurigakan, setelah selama dua puluh tahun berkuasa dengan gemilang. Tidak lama kemudian, permaisurinya menyusul diikuti oleh cucunya dan pemimpin-pemimpin politik berpengaruh lainnya.
BACA JUGA: Dampak Fatal Eksodus Besar-besaran Keluar Israel dan Ragam Bujuk Rayu untuk Kembali
Sumber-sumber Islam bahkan memandang tahun 487 H atau 1094 M sebagai tahun penuh bencana, karena di tahun ini era lainnya turut berakhir. Yaitu dengan wafatnya Khalifah Fatimiyah di Mesir, al-Mustanshir, musuh besar Saljuk, yang telah memerintah selama 58 tahun. Tazirnya, Badr al-Jamili, pendiri benteng kota Kairo kemudian menyusul.
Pada 487 H atau 1094 M, Khalifah Abbasiyah al-Muqtadhi yang berpaham Sunni juga wafat. Seperti diuraikan oleh sejarawan Mamluk, Ibn Thghribirdi. "Tahun ini disebut tahun kematian para khalifah dan pemimpin," kata Ibn Thghribirdi.
Musibah kematian beruntun yang terjadi di dua pusat kekuasaan utama dunia Islam ini, yaitu kekaisaran Saljuk dan Fatimiyah, yang terjadi secara bersamaan, sama akibatnya seperti perpecahan Tirai Besi sejak 1989 dan seterusnya: partai-partai politik terkenal memberi jalan bagi munculnya disorientasi dan anarki.
Waktu kedatangan Perang Salib Pertama sungguh cukup menguntungkan. Apakah kaum Eropa telah diberitahu bahwa saat itu merupakan saat yang paling tepat untuk menyerang?
Sayangnya, hanya ada sedikit bukti mengenai hal ini di dalam sumber- sumber Islam. Tapi tentu para Tentara Salib itu tidak akan dapat berhasil dengan hanya mengandalkan situasi kebetulan saja.
Sengkarut Sunni Syiah
Perpecahan agama menyerang kehidupan umat Islam di semua lapisan masyarakat. Sebagai penguasa Islam Sunni yang baik, bangsa Saljuk telah melanjutkan kebijakan luar negeri yang penuh semangat pada periode 1063-1092 M.
Sasaran utama serangan mereka bukanlah kerajaan-kerajaan Bizantium ataupun Kristen Kaukasus, meskipun mereka juga menyerang kerajaan-kerajaan tersebut, tetapi juga sesama kerajaan kaum Muslim yaitu Khalifah Syiah Fatimiyah di Kairo, Mesir.
Peperangan berkepanjangan dilancarkan di Suriah dan Palestina. Permusuhan ideologi dan politik antara Dinasti Fatimiyah menganut paham Syiah Ismailiyah dan Saljuk yang berhaluan Sunni sudah sangat tajam dan praktis hampir tidak terbayangkan bagi mereka untuk membentuk front Islam bersatu dalam melawan musuh dari luar, yaitu para Tentara Salib.
Perginya para pemimpin yang berpengaruh serta kebencian dan permusuhan sektarian yang semakin meruncing di kalangan umat Islam telah memicu keresahan dan hilangnya orientasi kaum Muslim. Umat Islam mengalami masa-masa yang kacau.
Abad Islam yang baru abad keenam akan segera datang (dimulai pada 2 September 1106) dan banyak umat Islam yang menantikan abad itu dengan ketakutan. Apalagi setelah pada 492 H atau 1099 M mereka menyaksikan kejatuhan Yerusalem. Banyak di antara mereka yang mungkin percaya bahwa saat itu hari kiamat sudah dekat.
Sementara umat Islam lainnya berharap bahwa pada abad baru tersebut, seperti pada abad-abad sebelumnya, akan datang seorang pembaharu (mujaddid) bagi dunia Islam. Memang, banyak yang menganggap Al-Ghazali sebagai figur tersebut.