UAH: MUI Bisa Jadi Wadah untuk Menguji Polemik Nasab Ba'alawi

Menurut UAH, tidak bisa disebut pemikiran komprehensif jika belum diuji.

dok UMJ
Dr. (HC) Adi Hidayat, Lc., MA., yang berkesempatan memberikan pandangan dan pencerahan dengan subtema Pengembangan Praksis Dakwah Kultural: Supporters, K-Popers, dan Masyarakat Seni-Budaya, Selasa (19/03/2024), di Auditorium KH Ahmad Azhar Basyir Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Rep: Fuji Eka Permana Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyarankan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi wadah untuk menguji berbagai macam masalah yang diajukan khususnya terkait dengan polemik nasab Ba'alawi.

Baca Juga


Ustadz Adi yang juga merupakan Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini menyayangkan, polemik tentang nasab sampai saat ini belum juga berhenti. Polemik tersebut pun  melahirkan berbagai macam hal yang sangat tidak produktif, baik perdebatan yang tidak berujung, konflik di media sosial, dan diskusi yang tidak terarah.

"Bahkan belakangan ini kita mulai juga melihat turunan-turunan konflik di media sosial itu ke dunia nyata sampai terlahir tindakan-tindakan yang tidak kita harapkan," kata Ustadz Adi, dikutip dari Youtube Channel Adi Hidayat Official yang dipublikasikan pada 13 Agustus 2024.


Dengan segala kerendahan hati, namun juga diiringi dengan ketegasan yang penuh, UAH mengimbau kepada seluruh pihak untuk menghentikan seluruh polemik, diskusi, dan perdebatan terkait dengan nasab ini mengingat dampak dan akibatnya.

"Dan tentu kita semua khususnya para ulama, para kiai, para ustadz sangat memahami tentang tuntunan agama kita, bagaimana menghadirkan nilai-nilai keutamaan dalam menjaga kerukunan, ishlah, menjaga maqashid syariah yang lima aspek itu, dan tentu kita juga memahami untuk menyelesaikan satu persoalan ada tempat-tempatnya yang tertentu," jelas dia.

Ustadz Adi menerangkan, jika hal ini dibagi dua persoalan, salah satunya perkara ilmiah. "Saya sarankan akan lebih baik bila di sini, seperti MUI menjadi wadah misalnya, wadah yang baik untuk menguji berbagai macam masalah-masalah yang diajukan, khususnya terkait dengan polemik nasab ini, silakan diujikan di tempat yang baik," ujar UAH. 

Harus diuji..

Ustadz Adi menyampaikan, tentu tidak bisa disebut sebuah pemikiran yang komprehensif, apakah itu namanya tesis atau yang lainnya kalau belum diuji. Untuk itu ada baiknya hal-hal yang dipersoalkan, baik itu pihak pengguat ataupun juga yang digugat kemudian duduk di forum tersebut.

Para ulama lantas bisa menjadi penengah dan menilai dengan standar-standar keilmuan yang memang pakem dan sistematikanya telah diketahui bersama.

"Tentu (jika) membahas ilmu nasab, kita turunkan dengan turunan sistematika ilmu nasabnya, bila yang disoal nasab, tentu yang dibahas dengan pendekatan ilmu nasab. Bila yang disoal masalah yang lain, tentu pendekatannya dengan kodifikasi ilmu-ilmu yang telah ada dan dihadirkan oleh para ulama," kata UAH.

Menurut Ustadz Adi, dengan metodologi seperti itu, secara ilmiah sangat mudah didudukan dan sangat bisa didiskusikan. Sehingga tidak menjadi liar. Setiap orang bisa bikin acara, yang satu buat podcast, yang satu membuat tayangan tertentu. Sehingga benturannya terasa sampai di akar masyarakat, saling berbalas komentar yang tidak menemukan titik temu, dan ini terasa sangat mengganggu.



BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler