Ekonomi Melambat dan Pekerja Banyak Tanggungan, Dana Pensiun Tambahan Dinilai tak Relevan
Ekonom kompak meminta pemerintah menunda aturan dana pensiun tambahan bagi pekerja.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan dana pensiun tambahan yang tengah digodok oleh pemerintah terus menuai kritik. Peneliti Next Policy Muhammad Anwar menilai aturan dana pensiun tambahan merupakan kebijakan yang tidak relevan dengan banyaknya beban yang ditanggung pekerja serta kondisi perlambatan perekonomian saat ini. Sehingga kebijakan itu menurutnya patut untuk ditunda.
"Saat ini, beban yang ditanggung oleh pekerja swasta sudah terlalu berat. Dengan berbagai potongan yang telah berjalan, seperti pajak penghasilan, BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, rencana iuran Tapera hingga asuransi kendaraan third party liability (TPL). Penerapan kebijakan iuran pensiun tambahan jelas tidak tepat untuk dilakukan dalam waktu dekat," kata Anwar kepada Republika, Senin (9/9/2024) malam.
Terlebih, Anwar menyebut kondisi ekonomi Indonesia masih belum sepenuhnya stabil pascapandemi Covid-19, serta banyak pekerja berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anwar berpendapat, kebijakan tersebut, meskipun bermaksud baik untuk menjamin kesejahteraan di masa pensiun, yang ada akan menambah beban finansial langsung yang dialami pekerja sekarang.
"Menambah potongan dari gaji mereka, terutama tanpa adanya penyesuaian pendapatan atau kompensasi, hanya akan memperburuk kondisi finansial mereka yang saat ini sudah terbatas," tutur dia.
Lebih lanjut, potongan tambahan tersebut bisa membuat daya beli pekerja semakin tergerus. Kemudian aman mempersempit ruang gerak ekonomi keluarga, yang selanjutnya akan berdampak pula pada perekonomian yang lebih luas.
"Jadi, dalam situasi saat ini, kebijakan ini tidak relevan dan sebaiknya ditunda," tegasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu memahami bahwa meskipun tujuan jangka panjang kebijakan ini penting, prioritas utama saat ini haruslah menjaga kestabilan ekonomi pekerja. Kebijakan baru yang menambah beban tidak akan diterima dengan baik dan bisa memicu ketidakpuasan di kalangan pekerja yang sudah menghadapi banyak tantangan.
"Jika benar-benar ingin diterapkan, kebijakan ini harus dipertimbangkan ulang dengan waktu dan mekanisme yang lebih tepat, di saat ekonomi sudah lebih stabil dan daya beli masyarakat sudah lebih kuat," terangnya.
Dampak terhadap kelas menengah
Anwar menuturkan, jika ternyata nantinya kebijakan dana pensiun tambahan diberlakukan, itu akan berdampak pada semakin anjloknya angka penurunan kelas menengah. Jumlah kelas menengah diketahui turun hampir 10 juta dalam lima tahun belakangan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
"Pada intinya, tambahan kontribusi untuk dana pensiun akan mengurangi pendapatan bersih pekerja, yang dapat mempengaruhi konsumsi sehari-hari dan mengurangi kemampuan untuk menabung," ujar dia.
Dalam jangka panjang, pengeluaran yang meningkat tanpa adanya kenaikan gaji yang signifikan akan membatasi kemampuan kelas menengah untuk mengelola kebutuhan dasar dan berinvestasi, yang merupakan landasan utama dari stabilitas ekonomi kelas ini.
Selain itu, kebijakan ini bisa memperburuk situasi karena kelas menengah merupakan kelompok yang paling rentan terhadap tekanan ekonomi. Kelas ini seringkali memiliki komitmen finansial seperti cicilan rumah, biaya pendidikan anak, dan kebutuhan kesehatan yang harus dipenuhi.
"Penerapan PP ini berpotensi memicu efek domino yang memperparah ketidakstabilan ekonomi bagi kelas menengah, yang selama ini berperan penting sebagai tulang punggung ekonomi. Dengan berkurangnya kemampuan mereka untuk konsumsi dan investasi, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan juga bisa terganggu," tutupnya.
Senada, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai aturan dana pensiun tambahan bakal berdampak pada semakin tertekannya jumlah kelas menengah, yang dalam lima tahun terakhir telah anjlok hampir 10 juta jiwa. Eko mempertanyakan urgensi dari aturan dana pensiun tambahan yang bersifat wajib tersebut.
Dia mengaku memahami bahwa aturan itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengebangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Namun, berdasarkan pengamatannya, beleid tersebut telah melahirkan banyak program bersifat administered price dalam konteks inflasi/ deflasi yang bakal diberlakukan.
Seperti sebelumnya ada asuransi kendaraan dan Tapera, lantas sekarang muncul dana pensiun tambahan. Aturan-aturan anyar itu membikin masyarakat dan dunia usaha terkaget-kaget.
“Ini test the water. Implikasinya akan semakin menurunkan kelas menengah lagi dalam situasi ekonomi yang sebetulnya sedang mengalami perlambatan,” kata Eko dalam diskusi Indef bertajuk ‘Kelas Menengah Turun Kelas’ yang digelar secara daring, Senin (9/9/2024).
Eko menekankan, munculnya aturan tersebut tidak tepat untuk dilakukan saat ini mengingat perlunya upaya mendongkrak kembali jumlah kelas menengah yang diketahui merupakan bantalan ekonomi nasional.
Di samping itu, momennya menjadi tidak tepat karena seiring dengan ekspektasi akan terjadi penurunan suku bunga acuan (BI Rate) dalam waktu dekat yang diharapkan bisa menggairahkan dunia usaha. Eko meyakini BI bakal segera memangkas suku bunga tersebut, sehingga berpengaruh signifikan kepada bunga kredit dan kembali menggairahkan ekonomi.
“Harus dilihat, momentum sebentar lagi penurunan suku bunga kemungkinan akan terjadi, harus disambut dengan kebijakan-kebijakan yang lebih pro-growth terhadap konsumsi, bukan malah pungutan-pungutan,” ungkapnya.
Karena kondisi saat ini tidak pas, Eko menilai pemerintah perlu menelaah lagi soal penggodokan aturan dana pensiun tambahan tersebut. Pungutan itu hanya akan semakin membebani pekerja terutama kalangan menengah yang turun kasta.
“Intinya menurut saya dengan situasi seperti ini, kalau basis analisisnya kondisi riil terkini dan kita mau mengubah kondisi kelas menengah menjadi optimis lagi belanja dan konsumsinya, ini (aturan dana pensiun tambahan) harus ditunda,” tuturnya.
Dengan penundaan tersebut, diharapkan di tengah upaya menggeliatkan kembali ekonomi melalui diantaranya stimulus kebijakan moneter, kondisi kelompok kelas menengah menjadi kembali mendapatkan angin segar.
“Jadi, saya rekomendasikan sebisa mungkin hal-hal yang bisa ditunda dilakukan penundaan untuk memberikan napas bagi kelas menengah untuk bisa meningkat,” tegasnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa aturan mengenai dana pensiun tambahan yang bersifat wajib masih dalam proses penggodokan. Pihaknya saat ini tengah menunggu dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai hal tersebut.
“Kami dalam hal ini masih menunggu mengenai bentuk dari PP terkait dengan harmonisasi program pensiun,” kata Kepala Ekskutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono dalam konferensi pers RDK Agustus 2024 yang digelar secara daring, Jumat (6/9/2024).
Ogi menjelaskan, aturan soal dana pensiun tambahan itu merupakan tindak lanjut atas amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), terutama dalam Pasal 189. Beleid tersebut mengamanatkan penguatan untuk harmonisasi program pensiun sebagai upaya untuk meningkatkan perlindungan hari tua.
Berdasarkan data yang ada, manfaat pensiun yang diterima oleh para pensiunan relatif kecil, yakni sekira 10—15 persen dari penghasilan terakhir pada saat aktif bekerja. Sedangkan, berkiblat pada Organisasi Ketenagakerjaan International/ International Labour Organization (ILO), standar ideal manfaat pensiun adalah 40 persen.
Oleh sebab itu, Ogi mengatakan, sistem jaminan sosial nasional yang saat ini sudah ada, seperti jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan dan program pensiun PT Taspen dan PT Asabri nantinya akan diharmonisasikan. Adapun sifat dari program tersebut merupakan tambahan yang wajib dengan kriteria-kriteria tertentu yang akan diatur dalam PP.
“Nah diamanatkan dalam UU P2SK ini, ketentuannya (PP) harus mendapatkan persetujuan dari DPR, jadi isu terkait ketentuan batasan mana yang dikenakan untuk pendapatan berapa yang kena wajib, itu belum ada karena PP belum diterbitkan ,” terangnya.
Lebih lanjut, Ogi menuturkan, OJK sendiri dalam hal itu berkapasitas sebagai pengawas, untuk melakukan harmonisasi program-program pensiun yang diamanatkan dalam UU P2SK. Dia menegaskan pihaknya masih menunggu bentuk dari PP soal harmonisasi program pensiun.
“Jadi kami belum bisa bertindak lebih lanjut sebelum PP-nya diterbitkan,” tutupnya.