Dua Siswa Tewas Dihukum Guru, Pengamat: Memprihatinkan, Pendidik Harus Terus Diingatkan
Pendidik perlu menyadari pentingnya menjauhkan kekerasan dari dunia pendidikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati pendidikan Doni Koesuma menyoroti hukuman oleh oknum guru terhadap murid di lingkungan sekolah hingga memicu peserta didik meningga. Doni menyayangkan kejadian semacam itu masih terjadi di Tanah Air.
"Kondisi ini sangat memprihatinkan ya bagi dunia pendidikan," kata Doni kepada Republika, Senin (30/9/2024).
Doni mengingatkan para pendidik agar menyadari pentingnya menjauhkan kekerasan dari dunia pendidikan. Sebab, kekerasan terhadap anak sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak. "Guru tampaknya belum memahami bahwa dalam UU Perlindungan Anak, sanksi fisik atau kekerasan fisik tidak boleh dilakukan," ujar Doni.
Doni juga mendorong agar pihak sekolah mewujudkan lingkungan ramah anak. Salah satu caranya dengan memberi pelatihan kepada guru menyangkut aturan perlindungan anak. "Sekolah wajib mengembangkan iklim yang ramah anak dalam segala kegiatannya. Guru-guru diberi bimtek tentang UU Perlindungan Anak dan hak-hak anak," ujar Doni.
Untuk diketahui, dua orang siswa dari sekolah berbeda tewas akibat aksi pendisiplinan yang dilakukan oleh oknum guru. Korban pertama bernama Rindu Syahputra Sinaga (14 tahun) siswa SMP Negeri 1 STM Hilir Deli Serdang, Sumatra Utara yang meninggal sepekan setelah disuruh squat jam 100 kali oleh gurunya. Sedangkan korban kedua berinisial KAF (13 tahun) dari MTs Blitar yang meninggal setelah dilempar kayu di bagian kepala oleh gurunya karena telat shalat dhuha.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan, peristiwa ini menjadi indikator rendahnya literasi dampak kekerasan di kalangan pendidik. “Kami tak lelah mengingatkan jika kekerasan di lingkungan pendidikan itu nyata. Kami mendorong investigasi menyeluruh untuk mengetahui kenapa peristiwa yang memicu hilanganya nyawa dua peseta didik terjadi, baik di Deli Serdang maupun di Blitar,” ujar Huda.
Huda mengatakan, kasus kekerasan di Blitar dan Deli Serdang oleh oknum guru menjadi indikator rendahnya literasi dampak kekerasan di kalangan pendidik. Meskipun kekerasan tersebut awalnya diniatkan sebagai bagian pembentukan sikap disiplin, namun jika tidak dibarengi dengan pemahaman utuh mengenai dampaknya maka bisa berakibat fatal.
“Kita bisa bayangkan seorang peserta didik disuruh squat jam hingga 100 kali, atau dilempar dengan kayu ke arah kepala pasti memberikan dampak fatal, meskipun tujuan tindakan tersebut awalnya bertujuan baik, mendisiplikan peserta didik,” katanya.
Rendahnya literasi dampak kekerasan di kalangan pendidik, lanjut Huda, menjadi indikator buruknya kinerja dari Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah (PPKS) maupun tim PPKS. Menurutnya, jika Satgas PPKS dan Tim PPKS bekerja dengan benar maka penyelenggara satuan pendidikan dalam hal ini para guru bisa mengetahui dampak sikap keras jika dilakukan tanpa perhitungan matang.
“Literasi dampak kekerasan harusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari program pencegahan Satgas PPKS maupun tim PPKS. Bagaimana Satgas PPKS maupun Tim PPKS di level sekolah bisa bekerja efektif jika stake holder utama pendidikan seperti guru, siswa, kepala sekolah tidak memahami dampak-dampak dari tindak kekerasan yang mungkin terjadi,” katanya.
Politisi PKB tersebut mengatakan, lembaga pendidikan di semua level menyimpan bibit-bibit kekerasan. Berkumpulnya peserta didik dari berbagai latar belakang dengan jumlah besar bisa memicu gesekan. “Maka di sini kami mendorong peningkatan kinerja dari Satgas PPKS di level pemda maupun Tim PPKS di level sekolah,” pungkasnya.