Penjelasan Hukum Potong Tangan dalam Alquran
Setiap tindak kejahatan ada hukumannya.
REPUBLIKA.CO.ID,BEKASI -- Di dalam Alquran Surat Al-Ma'idah Ayat 38 menjelaskan bahwa hukuman bagi pencuri adalah dipotong tangannya. Tafsir ayat ini menjelaskan soal hukuman potongan tangan bagi pencuri, apa saja yang diperintahkan Allah pasti akan mendatangkan maslahat, dan apa saja yang dilarang-Nya pasti akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran apabila dilanggar.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al Ma'idah ayat 38).
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, setiap kejahatan ada hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman. Begitu pula halnya seorang pencuri akan dikenakan hukuman karena ia melanggar larangan mencuri. Seseorang, laki-laki maupun perempuan yang mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diam-diam, dinamakan pencuri.
Orang yang telah akil baligh mencuri harta orang lain yang nilainya sekurang-kurangnya seperempat Dinar, dengan kemauannya sendiri dan tidak dipaksa, dan mengetahui bahwa perbuatannya itu haram, dilarang oleh agama. Orang itu sudah memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan kanan, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat ini.
Suatu pencurian dapat ditetapkan apabila ada bukti-bukti atau ada pengakuan dari pencuri itu sendiri, hukuman potong tangan tersebut dapat gugur apabila pencuri itu dimaafkan oleh orang yang dicuri hartanya dengan syarat sebelum perkaranya ditangani oleh yang berwenang.
Pelaksanaan hukum potong tangan dilaksanakan oleh orang yang berwenang yang ditunjuk untuk itu, dengan syarat-syarat tertentu.
Penetapan nilai harta yang dicuri, yang dikenakan hukum potong tangan bagi pelakunya yaitu sekurang-kurangnya seperempat Dinar sebagaimana tersebut di atas, adalah pendapat jumhur ulama, baik ulama salaf maupun khalaf.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW sebagai berikut, "Rasulullah SAW memotong tangan pencuri itu yang mencuri seperempat Dinar ke atas.” (Riwayat Imam Al Bukhari, Imam Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anha).
Seorang pencuri yang telah dipotong tangan kanannya, kemudian ia mencuri lagi dengan syarat-syarat seperti semula, maka dipotonglah kaki kirinya yaitu dari ujung kaki sampai pergelangan.
Kalau ia mencuri lagi untuk ketiga kalinya, dipotong lagi tangan kirinya, kalau ia mencuri lagi untuk keempat kalinya, dipotong lagi kaki kanannya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW mengenai pencuri sebagai berikut.
"Apabila ia mencuri, potonglah tangan (kanan)-nya, kalau ia mencuri lagi potonglah kaki (kiri)nya, kalau masih mencuri lagi potonglah tangan (kiri)nya dan kalau ia masih juga mencuri potonglah kaki (kanan)nya.” (Riwayat Al Imam Al Syafi’i dari Abu Hurairah).
Kalau ini semua sudah dilaksanakan tetapi ia masih juga mencuri untuk kelima kalinya, maka ia di-ta’zir, artinya diberi hukuman menurut yang ditetapkan oleh penguasa, misalnya dipenjarakan atau diasingkan ke tempat lain, sehingga ia tidak dapat lagi mencuri.
Potong tangan ini diperintahkan Allah sebagai hukuman kepada pencuri, laki-laki maupun perempuan, karena Allah Maha Perkasa, maka ia tidak akan membiarkan pencuri-pencuri dan manusia lainnya berbuat maksiat. Allah Maha Bijaksana di dalam menetapkan sesuatu seperti menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, karena yang demikian itu apabila diperhatikan lebih dalam, tentu dalam pelaksanaannya akan menimbulkan maslahat yang banyak, sekurang-kurangnya dapat membatasi merajalelanya pencurian.
Apa saja yang diperintahkan Allah pasti akan mendatangkan maslahat dan apa saja yang dilarang-Nya pasti akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran apabila dilanggar.
Dalam ajaran agama Islam, menuntut ilmu termasuk kewajiban untuk seluruh umat muslim. Salah satu penunjang untuk bisa mendapatkan ilmu adalah dengan membaca. Fungsi bagi seseorang yang membaca akan mendapatkan ilmu yang mungkin belum didapat sebelumnya. Terdapat tafsir ayat yang menjelaskan pentingnya membaca dengan tekun dan memahaminya sepenuh hati.
Sebagaimana yang tertulis di Alquran dalam surat Al Baqarah ayat 121, Allah SWT berfirman,
اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ
Arab Latin : Allażīna ātaināhumul-kitāba yatlūnahū ḥaqqa tilāwatih(ī), ulā'ika yu'minūna bih(ī), wa may yakfur bihī fa ulā'ika humul-khāsirūn(a).
Artinya : “Orang-orang yang telah Kami beri kitab suci, mereka membacanya sebagaimana mestinya, itulah orang-orang yang beriman padanya. Siapa yang ingkar padanya, merekalah orang-orang yang rugi.”
Menurut tafsir tahlili Kemenag, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa di antara Ahli Kitab ada orang Yahudi yang mengikuti Taurat, orang Nasrani mengikuti Injil. Mereka benar-benar membaca kitab yang diturunkan kepada mereka dengan bacaan yang benar tidak diikuti oleh keinginan dan hawa nafsu mereka.
Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya dengan memahaminya sepenuh hati, tidak mentakwilkan atau menafsirkannya menurut keinginan sendiri, tidak menambah, mengurangi atau mengubahnya.
Menurut Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, membaca dengan bacaan yang sebenarnya ialah menghalalkan yang dihalalkanya, mengharamkan yang diharamkannya, membacanya seperti yang diturunkan Allah SWT, tidak mengubah-ubah atau memalingkan perkataan dari tempat yang semestinya dan tidak menakwilkan sesuatu dari kitab itu dengan takwil yang bukan semestinya.
Semua kitab (wahyu) Allah SWT yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya merupakan pelajaran bagi mereka yang bertujuan untuk mengarahkan dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Karena itu, para hamba Allah SWT wajib membaca dengan sebenar-benarnya, berulang-ulang, dan berusaha memahami petunjuk Allah yang terdapat di dalamnya.
Ketika seseorang membaca Alquran dengan tidak memperhatikan maksud dan maknanya, menafsirkannya dengan sekehendak hati adalah sama dengan membaca Kitab oleh Yahudi dan Nasrani. Membaca kitab-kitab Allah SWT dengan bacaan yang sebenarnya wajib dilakukan oleh manusia. Membaca Kitab tidak dengan bacaan yang sebenarnya tidak mengamalkan apa yang dibaca, itu berarti memperolok-olokkan kitab-kitab Allah SWT dan menantang Allah SWT.