Sejarah Masuknya Islam ke Aceh, Dimulai Sejak Abad Ke-7
Aceh menjadi tempat persinggahan para jamaah haji sebelum berangkat.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Aceh serambi Makkah, nama tersebut didapat karena Aceh menjadi tempat persinggahan para jamaah haji sebelum berangkat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dari telak geografis, jika ditarik garis lurus, Aceh adalah wilayah Nusantara atau Indonesia yang paling dekat ke Timur Tengah tempat tersebarnya agama Islam.
Sehingga menjadi wajar jika umat Islam dari Timur Tengah pertama kali singgah di Aceh untuk urusan perdagangan atau misi agama Islam rahmatan lil alamin. Setelah singgah di Aceh, bisa saja kaum Muslim tersebut berangkat ke berbagai wilayah di Nusantara.
Sejarawan dan peneliti di Indonesia, ada yang berpendapat bahwa Islam datang langsung dari Arab pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi ke Aceh. Tepatnya di wilayah Pasai di Aceh Utara, dan Peurelak di Aceh Timur.
Sumber penelitian lain mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke wilayah Aceh pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi melalui jalur perdagangan maritim. Para pedagang dan mubaligh dari Gujarat, Persia, dan Arab membawa ajaran Islam ke pelabuhan-pelabuhan di Aceh seperti Perlak, Lamuri, Barus, dan Samudera. Mereka juga menikahi wanita setempat dan membentuk komunitas Muslim.
Salah satu sumber sejarah yang menyebutkan tentang masuknya Islam di Aceh adalah catatan Marco Polo, seorang penjelajah asal Italia yang singgah di Perlak pada tahun 1292 Masehi. Ia menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Sumber lain dari pelancong bernama Ibnu Batutah, seorang musafir asal Maroko yang mengunjungi Kerajaan Samudera Pasai di Aceh pada tahun 1345 Masehi. Ia bertemu dengan Raja Malik Al-Zahir yang merupakan penguasa yang telah beragama Islam.
Dikutip dari laman resmi Pemprov Aceh, daerah Aceh menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab. Hal tersebut menjadikan Aceh wilayah pertama yang terpengaruh oleh budaya dan agama dari luar Nusantara.
Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Buddha. Namun peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam yang diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.
Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka. Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu.
Dikutip dari buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia yang ditulis Binuko Amarseto. Dijelaskan bahwa Perlak yang terletak di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama atau tertua di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hal itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy.
Namun demikian, kitab yang dijadikan sumber satu-satunya tersebut juga menyisakan keraguan. Sebagian sejarawan meragukan keabsahan dari kitab tersebut.
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak yang merupakan kayu yang berkualitas bagus untuk bahan baku pembuatan kapal. Tidak mengherankan jika para pedagang dari Gujarat, Arab, dan India tertarik untuk datang ke wilayah Perlak.
Karena banyak disinggahi oleh para pedagang, pada awal abad ke-8 Masehi, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Hal ini tidak terlepas dari letak yang strategis di ujung utara pulau Sumatra atau berada di bibir masuk selat Malaka. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat.
Dengan demikian, realitas seperti itu mendorong perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya memunculkan Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam di Nusantara.
Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia, dijelaskan bahwa Islamisasi dalam tradisi lisan yang berkembang di wilayah Sumatera, Islamisasi Samudera Pasai kiranya penting diurai di awal bagian. Sebabnya jelas, di wilayah inilah Islam pertama kali hadir dan selanjutnya dikenal oleh masyarakat Nusantara.
Dengan posisi tersebut, tak heran ketika dalam perjalanannya wilayah inilah yang banyak mengurai ragam tradisi lisan, khususnya dalam bentuk mitos, perihal bagaimana seseorang menjadi Islam.
Terlepas apakah mitos itu benar-benar pernah terjadi atau tidak, nyatanya masyarakat percaya akan kebenarannya. Bahkan, karena menyangkut hal-hal yang suci, mitos tersebut pada akhirnya menjadi kebenaran kolektif yang tidak bisa diganggu gugat keabsahannya.
Kasus pertama yakni tentang Merah Silu yang memeluk agama Islam atau mualaf. Seperti terangkum dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, di Samudera Pasai Islamisasi dimulai setelah Merah Silu yang kala itu merupakan penguasa Samudera, bermimpi bahwa Nabi Muhammad SAW menampakkan diri kepadanya.
Dalam mimpinya, Nabi mengalihkan secara gaib pengetahuan tentang Islam kepadanya dengan cara meludah ke dalam mulutnya, dan memberinya gelar Sultan Malik as-Salih. Setelah terbangun, sultan yang baru itu mendapati bahwa dia dapat membaca Alquran walaupun dirinya belum pernah belajar membaca Alquran, dan dia juga telah dikhitan secara gaib.
Dapat dimengerti bahwa para pengikutnya merasa takjub atas kemampuan sultan mengaji dalam bahasa Arab. Kemudian kapal dari Makkah tiba. Ketika Syekh Ismail mendengar pengucapan dua kalimat syahadat Malik as- Salih, maka dia pun melantiknya menjadi penguasa dengan tanda-tanda kerajaan dan jubah-jubah kenegaraan dari Makkah. Ismail terus mengajar penduduk bagaimana cara mengucapkan dua kalimat syahadat, "Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya.” Kemudian dia pun pergi meninggalkan Samudera, sedangkan orang suci berkebangsaan India tadi tetap tinggal untuk menegakkan agama Islam secara lebih kokoh di Samudera.
Melihat kasus di atas, terlihat bahwa mimpi ghalibnya juga mampu berperan dalam sebuah proses Islamisasi. Dalam banyak kasus, mimpi bisa menjadi kekuatan maha dahsyat yang akan memengaruhi sistem kognitif masyarakat ataupun sistem kepercayaan penduduk. Melalui mimpi tersebut, banyak cerita di mana mereka dengan ikhlas menanggalkan kepercayaan lamanya Hindu atau Buddha untuk kemudian meyakini kepercayaan baru yang dianggap lebih sempurna yakni Islam.
Melacak data yang ada, mitos perihal bagaimana seseorang menjadi Islam setelah bermimpi bertemu dengan Nabi tidak saja berlaku di Samudera Pasai, seperti dialami oleh Merah Silau, tapi juga di wilayah lain seperti Malaka dan lain sebagainya.