Muhammadiyah, Hegemoni Orba, dan Perjuangan Buya

Buya Abdul Malik Ahmad berjuang untuk meresistensi Asas Tunggal di era Orde Baru.

republika yogi ardhi
ILUSTRASI Pancasila.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid (2014) menjelaskan, wacana Asas Tunggal bermula dari bentrok fisik antara massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Pemerintah Orde Baru yang waktu itu didukung Golkar melihat partai yang berhaluan kanan (agama) itu sebagai sesuatu yang patut diwaspadai. Maka, dirancanglah tafsiran bahwa Pancasila—artinya, bukan agama—harus dijadikan asas satu-satunya dalam berorganisasi.

Baca Juga


Rezim kala itu berdalih, Asas Tunggal diterapkan demi melindungi Pancasila dari rongrongan ekstrem kiri-kanan. Melalui penerapan Asas Tunggal, pemerintah yakin, konflik ideologi dapat dihilangkan sehingga pembangunan nasional tak terganggu.

Sejak munculnya wacana Asas Tunggal, PP Muhammadiyah merespons dengan hati-hati. Malahan, persyarikatan cenderung “terbelah” dalam menyikapinya.

Buya Abdul Malik Ahmad menjadi suara paling nyaring dari kubu anti-Asas Tunggal. Tokoh Muhammadiyah kelahiran Nagari Sumanik, Kelarasan Tanah Datar, Sumatra Barat, ini gigih mempertahankan agar Persyarikatan tetap berasas agama Islam.

Fikrul Hanif mengatakan, berbagai strategi dilakukan Buya Abdul Malik Ahmad untuk menyuarakan argumentasinya. Mulai dari kuliah tauhid, rapat pimpinan Muhammadiyah, kaderisasi, hingga selebaran-selebaran yang bertajuk “Menuju Shiratan Mustaqiima”, yang diedarkan beberapa bulan menjelang Muktamar ke-41 di Solo, Jawa Tengah.

Namun, perjuangannya ternyata tak "berhasil." Dalam sidang pleno Muktamar ke-41 tanggal 11 Desember 1985, Muhammadiyah akhirnya menerima Asas Tunggal. Hegemoni Presiden Soeharto—yang sempat datang membuka pertemuan akbar itu—memang diakui besar.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah AR Fachruddin memakai diplomasi “helm”. Yakni, Asas Tunggal diibaratkannya sebagai helm, yang wajib dipakai seorang pengemudi sepeda motor. Akan tetapi, helm itu sendiri tak mengubah apa pun dari jati diri sang pengemudi. Misalnya, ketika masuk masjid, ia dapat melepas helm itu.

Suara Buya Abdul Malik bukan berarti tak diindahkan sama sekali. Sebagai contoh, usulannya bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai tauhid diterima secara aklamasi oleh peserta muktamar.

Fikrul Hanif merangkum pandangan para tokoh Muhammadiyah era Orde Baru hingga Reformasi, seperti Amien Rais, AM Fatwa, Rusjdi Hamka, Goodwill Zubir, dan lain-lain. Mereka semua mengamini, Buya Abdul Malik pantas dijuluki sebagai “sang penjaga tauhid” di organisasi modernis ini, utamanya sepanjang era 1970-an hingga 1990-an.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler