Wacana Wadah Tunggal KPK Dalam Pemberantasan Korupsi, Mungkinkah?
Perlu kajian mendalam KPK sebagai wadah tunggal pemberantasan
Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Pada hari Anti Korupsi 10 Desember 2024, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Prof Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Pemerintah saat ini sedang menggodok aturan-aturan terkait dengan tindak pidana korupsi.
Salah satu wacananya adalah menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai wadah tunggal melakukan prosekusi terhadap kasus korupsi. Artinya KPK sebagai penyidik tunggal dan satu-satunya penuntut umum pada penuntutan kasus korupsi.
Pemerintah mengkaji untuk menjadikan kewenangan penindakan dalam kasus korupsi ke wadah tunggal (single agency) atau dijadikan satu kepada KPK. Namun begitu, Pemerintah masih terbuka untuk diskusi karena baru sebatas kajian.
Pernyataan ini menarik perhatian para pemerhati hukum dan anti-korupsi. Para pegiat anti-korupsi yang kita ketahui selama ini sering mempertanyakan tentang kinerja KPK dan program anti-korupsi nasional yang dianggap menurun atau kurang berdaya.
Wacana ini tentunya akan mengundang pro dan kontra karena selama ini wacana wadah tunggal dalam berbagai hal seringkali dianggap tabu. Wacana ini tentu bukan merupakan hal yang baru karena pasti telah banyak kajian tentang hal ini, dimana Program Pemberantasan Korupsi selalu menjadi topik menarik di berbagai kajian atau penelitian hukum.
KPK, BNPT, dan BNN misalnya seringkali dijadikan kajian atau wacana untuk diberikan kewenangan tunggal. Selama ini KPK menjadi semacam “Koordinator” dalam program pemberantasan korupsi, BNPT menjadi koordinator program anti-terorisme, dan BNN dalam program anti-Narkoba.
Namun jika dijadikan single-agency, wacana tersebut selalu mendapat kritik. Menarik untuk dikaji lebih dalam, bagaimana sebenarnya tujuan pembentukan KPK dan dampak apa yang dapat terjadi jika KPK dijadikan wadah tunggal.
Latar belakang pembentukan KPK
Untuk dapat melihat bagaimana struktur pembentukan dan kedudukan kelembagaan KPK, maka dapat kita lihat dari beberapa kebijakan pemberantasan korupsi yang telah dibentuk.
Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Dalam Konsideran menimbang UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tersurat bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, saat dibentuknya UU Nomor 30 tahun 2002, pemberantasan tindak pidana korupsi pada kurun waktu itu belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK pada prinsipnya dibentuk untuk memperkuat lembaga penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi, dan juga melakukan penguatan terhadap lembaga penegak hukum yang telah lebih dulu ada sebelumnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang nomor 30 tahun 2002 menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Pembentuk undang-undang saat membentuk UU Nomor 30 Tahun 2002 menegaskan dan menjelaskan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut.
Berdasarkan Pasal 6 UU KPK, KPK bertugas melakukan:
a. Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi
b. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik
c. Monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara
d. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi
f. Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tugas dan kewenangan dalam UU KPK tersebut diatur untuk meluaskan kewenangan KPK dalam mengkoordinasikan Program Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yakni sebagai stakeholder utama.
Melihat dari berbagai hal tersebut, maka dapat kita kaji dengan menggunakan analisis hukum dan dampak terhadap wacana pembentukan wadah tunggal KPK. Jika hal tersebut terjadi, maka kewenangan penanganan kasus korupsi di Polri dan Kejaksaan dipindahkan kepada KPK.
Beberapa hal tentu akan berdampak baik dari sisi peraturan perundang-undangan (regulatory framework) dan dampak di lapangan (implementation framework).
Secara teknis, keuntungan menjadikan KPK sebagai wadah tunggal (single agency) dalam pemberantasan korupsi saat ini adalah KPK dapat dirancang untuk berfokus pada bidang pemberantasan korupsi secara menyeluruh, sehingga risiko untuk bersinggungan dengan lembaga lain juga akan berkurang.
Hal ini terlihat menguntungkan karena akan ada efisiensi pada sistem penegakan hukum dan peradilan pidana. Selain itu, wadah tunggal juga meningkatkan konsistensi dan kejelasan dalam menghilangkan perbedaan interprestasi hukum yang terjadi jika dilakukan oleh multi-lembaga. Selanjutnya konsistensi ini dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas dari spesialisasi tersebut.
Selanjutnya, wadah tunggal dapat meningkatkan independensi yakni mengurangi intervensi dari luar. KPK juga dapat meningkatkan keahliannya secara khusus untuk pelatihan dan pendidikan dalam SDM KPK untuk berfokus pada pemberantasan korupsi secara efektif dan masif.
Wadah tunggal juga mengurangi kompetisi (termasuk yang tidak sehat) dan persaingan yang kadang justru kontra-produktif dengan tujuan program tersebut. Dalam penanganan korupsi, seringkali terdapat perbedaan pendapat antara KPK, Polri, dan Kejaksaan. Dengan wadah tunggal, gesekan seperti ini dapat diminimalisir atau dicegah.
Sedangkan wadah tunggal ini tentu juga mengandung beberapa kelemahan atau berbagai celah. Pertama adalah beban kerja yang sangat besar. Jika tidak diimbangi dengan sumber daya yang memadai, maka banyak perkara yang terbengkalai bahkan tertunda.
Pada akhirnya kasus-kasus korupsi yang berada di wilayah atau skalanya kurang terperhatikan oleh masyarakat akan terlupakan dan bahkan lebih menjauh lagi.
Kedua, keberhasilan pemberantasan korupsi membutuhkan cara-cara yang luar biasa, salah satunya adalah kerjasama dan kolaborasi antar-lembaga. Selama ini bersama Polri dan Kejaksaan, KPK tentu dapat bahu-membahu dan saling bekerjasama untuk meningkatkan daya penanggulangan tindak pidana korupsi.
Apalagi selama ini, KPK masih dibekali dengan kewenangan supervisi dan koordinasi yang membuat KPK masih dapat mengendalikan jalannya penanganan kasus korupsi.
Selain itu, dengan adanya wadah tunggal tentu menimbulkan pula monopoli penafsiran atau interpretasi hukum yang menimbulkan risiko eksklusivitas dari masukan-masukan eksternal.
Dengan begitu, wadah tunggal juga menimbulkan sebuah “ketergantungan” terhadap satu lembaga. Stagnasi akan terjadi di kala KPK kemudian gagal bekerja dengan baik.
Selanjutnya, wadah tunggal ini merupakan hal yang berisiko menimbulkan sentralisasi kekuasaan. Sentralisasi ini menimbulkan efek berkurangnya pengawasan, akuntabilitas, dan menimbulkan celah penyalahgunaan kewenangan.
Selama ini, perdebatan mengenai sentralisasi ini sangat panjang karena bertentangan dengan prinsip dalam demokrasi dan penerapan check and balances. Sentralisasi kekuatan atau kekuasaan ini, juga diafiliasikan dengan inefektivitas dan mengurangi fungsi pengawasan.
Kita tentu sudah berpengalaman dalam melihat fenomena single agency atau multi-agencies dalam penanganan terhadap permasalahan tertentu. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun dalam program penanggulangan korupsi, negara kita masih membutuhkan sebuah “desentralisasi” kewenangan serta peran serta masyarakat. Wacana wadah tunggal dipahami untuk mengurangi perbedaan pendapat atau semacam kompetisi tidak sehat dalam lingkup ego-sektoral yang selama ini sering terjadi dalam dunia politik atau birokrasi kementerian/lembaga.
Dengan adanya desentralisasi terhadap lembaga-lembaga tertentu, harapannya adalah terjadi sebuah kompetisi sehat dan kolaborasi untuk tujuan tertentu.
Kewenangan tunggal dalam penegakan hukum menawarkan efisiensi dan konsistensi, tetapi juga membawa risiko besar terhadap independensi, akuntabilitas, dan keberimbangan kekuasaan.
Dalam sistem hukum yang demokratis, kolaborasi antar-lembaga dengan mekanisme pengawasan yang kuat merupakan pendekatan yang lebih sehat untuk memastikan keadilan dan kepercayaan publik terhadap hukum.
Kita harus banyak belajar dari pengalaman terdahulu yang seringkali dikaitkan dengan penyalahgunaan (abuse of power). Sebagaimana kutipan Lord Acton yang sangat dikenal yakni:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, maka hadirnya kewenangan tunggal sangat berpotensi terjadi sebuah otoritarianisme dalam penegakan hukum korupsi. Kolektivitas senatiasa harus ada dalam mencegah absolutisme.
Kewenangan absolut terhadap satu lembaga akan selalu bersinggungan dengan prinsip-prinsip dalam Hak Asasi Manusia. Jika benar wacana wadah tunggal KPK tersebut tentu membutuhkan banyak perubahan dan perbaikan terhadap beberapa instrument, termasuk perubahan UUD 1945.
Masih diperlukan juga aturan-aturan terkait pengawasan yang menjamin independensi dan pencegahan penyalahgunaan kewenangan secara komprehensif dan ketat. Hal ini sangat berat sesungguhnya mengingat penyalahgunaan kewenangan atau politisasi terhadap KPK dan seluruh program pemberantasan korupsi akan sangat masif dampaknya.
Terlebih penyalahgunaan tersebut merupakan bagian dari tindak pidana korupsi yang juga merugikan negara dan sistem kenegaraan itu sendiri. Kita mengetahui bahwa kasus korupsi bukan kasus yang bisa dianggap remeh, maka penanggulangannya juga membutuhkan lembaga yang sangat kredibel dan terjamin independensi dan netralitasnya. Inilah yang sulit dan membutuhkan kerjasama, tidak sesulit jika dibuat dalam format multi-lembaga.
Maka lebih baik pada saat ini menggunakan pendekatan kolaborasi dan penerapan check and balances pada penegakan hukum, khususya di bidang pemberantasan korupsi.
Menimbang dari kelebihan dan kekurangan tersebut, tampaknya alih-alih menjadikan KPK sebagai wadah tunggal, lebih baik diberikan penguatan terhadap sinergisitas antar-lembaga, terutama Polri dan Kejaksaan yang notabene adalah lembaga permanen yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan begitu, kelemahan dalam praktek sepertinya kurangnya dukungan sumber daya organisasi seperti SDM, Anggaran, Sarpras, dan kebijakan atau sistem sekalipun dapat terantisipasi dan berjalan efektif dengan pengawasan yang lebih baik.
KPK masih memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengkoordinasikan program penanggulangan (Pencegahan dan Pemberantasan) Korupsi. Sesuai dengan tujuan pembentukkannya, maka KPK bukan dirancang untuk wadah tunggal namun untuk menguatkan dan mendorong (trigger) efektivitas pemberantasan korupsi.