Sehari Jadi Presiden, Trump Perintahkan Genjot Migas dan Abaikan Transisi Energi

Trump akan menahan beberapa izin pembangkit listrik tenaga angin.

Kenny Holston/The New York Times via AP
Donald Trump memerintahkan penginkatan produksi minyak dan gas setelah resmi menjabat sebagai Presiden AS.
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Setelah resmi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump langsung menandatangani perintah eksekutif darurat energi nasional untuk menggenjot kembali penggunaan bahan bakar fosil. Trump memerintahkan peningkatan produksi minyak dan gas (migas) AS. Sementara, sejumlah proyek pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) akan ditunda.

Baca Juga


Menurut Trump, langkah ini akan menurunkan harga energi dan mendorong ekspor ke seluruh dunia. "Darurat energi" menjadi salah satu perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada Selasa (21/1/2025). Dalam beberapa pidato terakhirnya, Trump sudah menyampaikan rencananya untuk mendeklarasikan langkah tersebut.

Langkah ini menjadi kebijakan pertama Trump yang bertujuan memperkuat "dominasi energi" AS dan membatalkan sejumlah kebijakan energi bersih mantan presiden Joe Biden. Trump menilai kebijakan-kebijakan perubahan iklim Biden menjadi penyebab inflasi.

"Saya akan mendeklarasikan darurat energi nasional, kami akan mengebor, Amerika akan kembali menjadi bangsa manufaktur, dan kami memiliki apa yang tidak dimiliki bangsa manufaktur lain, minyak dan gas terbesar di bumi dan kami akan menggunakannya," kata Trump dalam pelantikannya, seperti dikutip dari Politico, Selasa (21/1/2025).  

Trump juga mengkritik langkah Biden menggunakan Cadangan Minyak Strategis Nasional untuk membantu menurunkan harga bensin yang meroket usai Rusia menginvasi Ukraina pada 2022 . Trump mengatakan ia akan menurunkan harga minyak, mengisi cadangan minyak AS dan mengekspornya ke seluruh dunia. "Kami akan kembali menjadi negara kaya, dan emas cair di bawah kaki kita akan membantu mewujudkannya," kata Trump.  

Biden sudah mengisi kembali cadangan minyak AS meski masih lebih rendah dibandingkan saat ia mulai menjabat. Partai Republik mengatakan penjualan minyak cadangan akan membantu membiayai anggaran rekonsiliasi yang besar.

Selama pemerintahan Biden, produksi minyak dan gas AS sebenarnya tertinggi dalam sejarah, melampaui masa pemerintah Trump yang pertama. Dengan teknik fracking, produksi minyak AS dalam 15 tahun terakhir melonjak tajam, mengalahkan pesaing seperti Arab Saudi dan Rusia.

Negara-negara seperti Venezuela, Arab Saudi dan Kanada diyakini memiliki lebih banyak cadangan minyak yang belum dimanfaatkan dari AS. Meski ini mendorong produksi energi, tapi Trump tidak meningkatkan produksi energi terbarukan. Dalam pernyataannya, Gedung Putih mengatakan Trump akan menahan beberapa izin pembangkit listrik tenaga angin.

 

Di masa pemerintahannya yang pertama, Trump menjual izin pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai pertama AS. Lelang izin sumber energi itu menghasilkan miliaran dolar AS untuk pemerintah federal. Tapi, Trump berjanji untuk menghentikan dukungan ke teknologi tersebut termasuk melalui insentif yang ditetapkan dalam Undang-undang Reduksi Inflasi (IRA). Dalam siaran persnya, Gedung Putih juga mengatakan AS akan mundur dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya.

Butuh waktu satu tahun untuk menyelesaikan proses tersebut. AS akan menjadi satu-satunya dari 200 negara di dunia yang berada di luar perjanjian untuk memangkas gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.

Meski presiden memiliki keleluasaan menggunakan wewenang eksekutif selama masa darurat, belum diketahui undang-undang atau otoritas apa yang Trump gunakan untuk mendorong produksi dan membangun infrastruktur energi yang baru. Di masa pemerintahannya yang pertama, ia mempertimbangkan untuk mendeklarasikan darurat nasional demi mempertahankan pembangkit listrik yang menggunakan batu bara tapi akhirnya membatalkan rencana tersebut.

Selama berkuasa, Biden menolak seruan aktivis lingkungan untuk menggunakan darurat iklim nasional. Tetapi ia menggunakan Undang-Undang Produksi Pertahanan yang mengizinkan presiden menggunakan wewenang di masa perang untuk mengatasi ancaman nasional untuk meningkatkan produksi teknologi energi bersih seperti pompa gas bumi dan panel surya.

Sebelumnya, salah satu anggota tim transisi Trump mengatakan perintah eksekutif presiden akan menyentuh mineral penting yang merupakan komponen teknologi seperti baterai dan manufaktur. Ini sebagai upaya memperkuat industri teknologi AS dan mengatasi ketergantungan pada negara lain seperti Cina.

"Mineral penting sangat penting bagi keamanan negara kami, mineral penting merupakan fondasi bagi sebagian teknologi kami dan tercakup dalam definisi energi di perintah ini dan kelimpahan energi dan sumber daya alam yang akan dibuka kembali dengan perintah eksektufi ini," katanya.

Ia mencatat perintah eksekutif Trump bertujuan untuk memberi sinyal dimulainya proses memulihkan kebijakan-kebijakan energi yang telah dijalankan di masa pemerintahan Biden. Trump sempat menyinggung kebijakan-kebijakan tersebut di pelantikannya.

Anggota tim transisi Trump itu mengatakan salah satunya dengan mencabut standar ekonomi kendaraan yang bertujuan mendorong transisi ke kendaraan listrik. Trump juga akan mendorong pengembangan energi, penambangan dan ekspor gas alam di Alaska dan mencabut mandat efisiensi energi pada perangkat-perangkat seperti kompor gas dan mesin pencuci piring. "Anda dapat kembali membeli mobil Amerika pilihan anda," kata Trump.

Ia merujuk pada klaim Biden memaksakan kendaraan listrik pada konsumen AS. Pemerintahan Biden menerapkan standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat untuk mobil penumpang dan truk ringan untuk tahun model 2027 hingga 2031, dengan proyeksi standar untuk 2032.

Standar ini mengharuskan peningkatan efisiensi bahan bakar tahunan sebesar 2 persen untuk mobil dan truk ringan, serta peningkatan 10 persen untuk truk pickup dan van berat dari 2030 hingga 2032. Tapi tidak mengharuskan penggunaan kendaraan listrik. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler