Makin Terkuaknya Upaya Privatisasi Lautan Jadi Daratan Usai Terbongkarnya Kasus Pagar Laut
Pemasangan pagar laut diduga sebagai upaya membentuk daratan hasil sedimentasi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lintar Satria Zulfikar, Bayu Adji P, Antara
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan penyegelan terhadap pagar laut yang melintasi perairan enam kecamatan di Tangerang pada 10 Januari 2024. Namun, hingga saat ini, KKP belum berhasil mengungkap identitas pelaku dan pemilik pemagaran yang meresahkan nelayan kecil dan tradisional di wilayah tersebut.
Pemagaran laut yang berlangsung sepanjang 30,16 km di Tangerang, juga terjadi di Kabupaten Bekasi dan Pulau C di Jakarta Utara, dengan total panjang mencapai 2,5 km. Penggunaan alat pemagaran yang serupa, yaitu bambu dengan pemberat, menunjukkan adanya pola yang sama di ketiga lokasi tersebut.
Lebih lanjut, di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menerbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas perairan yang dipagari. Menteri ATR/BPN mengonfirmasi penerbitan 263 HGB dan 17 SHM, dengan total luas mencapai sekitar 1 juta meter persegi.
Namun, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan mereka menemukan luas tanah di laut yang terdaftar mencapai 515,77 hektare, lima kali lipat dari pernyataan resmi. Proses pemagaran dan pendaftaran tanah ini diduga merupakan upaya komodifikasi laut menjadi daratan, yang berpotensi mengarah pada privatisasi ruang laut oleh pihak tertentu.
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menegaskan adanya dugaan kuat pemagaran laut di Tangerang berkaitan erat dengan penerbitan HGB dan SHM. Ia mencatat PT Cahaya Inti Sentosa dan PT Intan Agung Makmur memiliki hubungan dengan proyek Pantai Indah Kapuk Dua, yang diduga terkait dengan perluasan kawasan tersebut.
“Temuan Kiara di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km," kata Susan dalam pernyataan Kiara, Selasa (21/1/2025).
Ia menambahkan tidak ada bukti signifikan yang menunjukkan pemagaran dilakukan untuk mengatasi abrasi, yang menjadi alasan resmi. Kiara menilai penerbitan HGB dan SHM di atas laut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3).
Mereka menegaskan privatisasi laut melalui penerbitan hak kepemilikan pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi. Susan menekankan tindakan Menteri ATR/BPN dalam menerbitkan hak kepemilikan di atas laut harus ditindaklanjuti secara transparan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
“Kami menduga bahwa ini adalah penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut,” tegasnya.
Kiara juga mengingatkan saat ini HP3 bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL), yang semakin melegitimasi privatisasi laut dan mengancam hak nelayan kecil. Konflik akibat PKKPRL telah terjadi di beberapa lokasi, termasuk Pulau Pari dan Manado Utara.
Susan menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik dari Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai pengelolaan pesisir dan laut, serta meminta agar pihak-pihak terkait diusut secara hukum.
"Sejauh ini kami menduga Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut," katanya.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan bahwa 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) pagar laut di perairan Tangerang, Banten, merupakan milik perusahaan hingga perorangan. Nusron di Jakarta, Senin (20/1/2025) mengatakan bahwa total SHGB yang terbit di pagar laut tersebut sebanyak 263 bidang, merupakan milik dua perusahaan swasta dan perorangan yang ada di wilayah tersebut.
"Jumlahnya 263 bidang dalam bentuk SHGB. Atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang dan atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang," kata Nusron.
Sementara itu, SHGB atas nama perseorangan di pagar laut tersebut tercatat sebanyak sembilan bidang. Lebih lanjut, Menteri ATR mengatakan bahwa selain Sertifikat Hak Guna Bangunan, juga terdapat Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km) tersebut.
"Kemudian ada juga SHM, Surat Hak Milik sebanyak 17 bidang," ucapnya.
"Kalau saudara-saudara ingin tanya dari mana, siapa pemilik PT tersebut, silakan cek ke AHU, Administrasi Hukum Umum, untuk ngecek di dalam aktenya," tambah Nuson.
Menteri ATR meminta maaf atas kegaduhan di tengah masyarakat mengenai pagar laut yang ada di perairan Tangerang, Banten. "Kami atas nama Menteri ATR/Kepala BPN mohon maaf atas kegaduhan yang terjadi kepada publik," kata Nusron.
Nusron menjelaskan bahwa kementeriannya akan menyelesaikan masalah ini secara terbuka, dengan transparansi penuh, tanpa ada yang disembunyikan demi menghindari potensi kesalahan lebih lanjut. Nusron juga menegaskan bahwa aplikasi BHUMI ATR/BPN yang dikembangkan kementeriannya berfungsi untuk memberikan akses transparansi bagi publik, sehingga masyarakat bisa mengetahui perkembangan mengenai pertanahan.
"Kami akan tuntaskan masalah ini seterang-terangnya, setransparan-transparannya, tidak ada yang kami tutupi, karena memang fungsi aplikasi BHUMI adalah untuk transparansi, siapapun bisa mengakses," ujar Menteri ATR.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mencurigai mereka yang memasang pagar laut berniat untuk membentuk daratan hasil sedimentasi sebagai lahan reklamasi yang terbentuk secara alami. Sakti Wahyu Trenggono melanjutkan kecurigaan itu, juga mempertimbangkan adanya SHGB dan SHM yang terbit untuk struktur pagar di perairan sekitar Tangerang, Banten.
“Saya perlu sampaikan kalau di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat. Jadi, (sertifikat yang mencakup wilayah laut) itu sudah jelas ilegal. Artinya, pemagaran ini dilakukan tujuannya agar tanahnya itu semakin naik. Semakin lama, semakin naik, semakin naik,” kata Trenggono saat jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, setelah menghadap Presiden Prabowo Subianto.
Trenggono melanjutkan luas daratan di tengah-tengah laut yang dapat terbentuk akibat dikelilingi struktur pagar itu dapat mencapai 30 hektare. “Jadi, nanti kalau terjadi seperti itu akan terjadi daratan, dan jumlahnya itu sangat besar. Tadi, saya laporkan kepada Bapak Presiden, dari 30 hektare itu, kira-kira sekitar 30.000-an hektare kejadiannya,” kata Trenggono.
Menurut Trenggono, jumlah lahan yang mungkin terbentuk akibat proses reklamasi alami itu cukup besar, dan yang perlu diwaspadai lahan-lahan itu kemungkinan telah bersertifikat. “Di bawahnya, ternyata menurut identifikasi Pak Menteri ATR/BPN itu ada sertifikatnya, yang atas nama siapa, atas nama siapa, teman-teman bisa cek sendiri,” kata Menteri Kelautan kepada para jurnalis.
Walaupun demikian, untuk saat ini, sertifikat yang merujuk kepada dasar laut itu tak sah, karena segala sesuatu yang berada di ruang laut harus mengantongi izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Izin yang dimaksud Trenggono salah satunya terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
“Kegiatan di ruang laut ya tidak boleh (sembarangan), harus ada izin. Di pesisir sampai ke laut tidak boleh. Harus ada izin,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan saat jumpa pers.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menghadap Presiden Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin sore. Selepas itu, dia menggelar jumpa pers untuk menyampaikan poin-poin pertemuannya dengan Presiden.
“Tadi, arahan Bapak Presiden, satu, selidiki sampai tuntas secara hukum supaya kita harus benar koridor hukumnya. Apabila tidak ada, itu harus menjadi milik negara,” kata Sakti Wahyu Trenggono.
In Picture: Melihat Proses Pembongkaran Pagar Laut Tangerang