Penelitian: 57 Cakada dari Dinasti Politik Menang Pilkada

Kekalahan yang diderita 72 orang itu membuktikan adanya resistensi.

Republika/Lilis Sri Handayani
Wakil bupati Indramayu yang diusung PDIP, Gerindra dan Nasdem, Lucky Hakim. (Ilustrasi)
Rep: Mimi Kartika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian Nagara Institute menunjukkan, dari 129 calon kepala daerah (cakada) yang terafiliasi dinasti politik maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, hanya 57 orang yang memenangkan kontestasi. Sedangkan, 72 cakada dari dinasti politik lainnya menelan kekalahan.


"Dari 129, 57 dinyatakan sebagai pemenang. 27 di antaranya menang dan masuk gugatan ke MK untuk disengketakan pemantau maupun kontestan lain," ujar peneliti Nagara Institute, Mustakim, dalam rilis hasil riset secara daring, Senin (12/4).

Kekalahan yang diderita 72 orang itu membuktikan adanya resistensi yang cukup besar dari kesepakatan diam (silent majority) pemilih terhadap calon dinasti politik. Sementara, hasil pilkada atas 27 orang yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan itu digugat pasangan calon lainnya atau pemantau pemilihan di daerah calon tunggal ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dari 27 sengketa hasil pilkada yang menggugat kemenangan paslon dinasti politik, 22 di antaranya kembali dimenangkan calon dinasti politik dan lima perkara lainnya diputuskan oleh MK untuk pemungutan suara ulang (PSU). Daerah dinasti politik yang diputuskan PSU itu yakni Kabupaten Nabire, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Hal ini sudah cukup dasar sebagai bukti bahwa sejak awal legitimasi politik dan justifikasi politik dari dinasti politik telah dipersoalkan. Berarti pula bahwa legitimasi politik dan justifikasi politik dinasti politik tidak cukup kuat dalam memerintah dengan baik, yakni transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif.

Namun, dari 30 cakada dari dinasti politik yang tidak dipersoalkan ke MK, tidak lantas otomatis menegaskan mereka memiliki legitimasi politik dan justifikasi politik yang cukup kuat dalam memerintah dengan baik. Sebab, masih ada tudingan pelanggaran pemilu, praktik politik uang, serta kompetitor hanya pasangan calon boneka, menjadi dasar untuk menduga dengan kuat bahwa legitimasi dan justifikasi politik sangat tidak memadai dalam memerintah dengan baik.

Dinasti politik langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap ketidaknetralan penyelenggara pemilu. Kasus enam daerah yang diputuskan pemungutan suara ulang (PSU) oleh MK selain diikuti oleh dinasti politik, juga terbukti penyelenggara pemilunya dinyatakan tidak netral.

Persoalan yang sangat mendasar dan paling awal bagi dinasti politik adalah keikutsertaannya sebagai peserta pilkada yang tidak memenuhi mekanisme pencalonan yang demokratis. Salah satunya sesuai dengan AD/ART masing-masing partai sebagai satu kriteria pemilu subtantif.

Mustakim mengatakan, 129 cakada yang terafiliasi dinasti politik termasuk bakal calon yang dinyatakan tidak lolos karena berbagai faktor. Kemudian, dari jumlah tersebut, delapan cakada di antaranya bertarung dengan kotak kosong atau calon tunggal.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler