REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika
Beberapa waktu lalu saya diinterogasi seorang perwira menangah kepolisian di Polda Metro Jaya. Saat itu saya menjadi saksi atas kasus penganiayaan yang dilakukan seseorang terhadap teman saya. Karena saya memang melihat kejadian itu, teman saya pun meminta saya untuk menjadi saksi.
Saya menjalani pemeriksaan mulai pukul 11.00 wib hingga sekitar pukul 13.00 wib. Sang perwira menengah itu tiba-tiba menghentikan pemeriksaan. Ia berdalih, satu jam lagi akan melakukan penggerebekan judi togel (toto gelap) di kawasan Kota, Jakarta Pusat. Dia menyarankan saya agar datang lagi keesokan harinya.
Seketika teman saya (pelapor) yang ikut mendampingi saaya nyeletuk, ”Wah memberantas judi togel itu gampang-gampang susah”. Ternyata polisi penyidik itu membenarkan ucapan teman saya.
Polisi muda itu pun menjelaskan betapa sulitnya memberantas judi togel. “Ya kami tidak munafiklah Pak, karena juga menerima setoran dari mereka,” tutur oknum polisi yang bertugas sebagai penyidik itu.
Polisi itu pun enteng saja mengatakan hal itu. Padahal, sebelum itu kami sudah memperkanalkan diri sebagai wartawan. Teman saya yang melaporkan itu pun juga telah menyebutkan profesinya sebagai seorang wartawan. Saya pikir, dengan mengetahui profesi kami sebagai wartawan, polisi akan segan untuk menceritakan hal-hal yang tidak pantas dilakukan, berkaitan dengan tugas mereka.
Nyatanya, polisi itu sama sekali tidak segan untuk bercerita hal itu. Bahkan dia juga menceritakan hal lain lagi yang lebih konyol. Suatu saat dia dan rekannya menangkap para penjudi di suatu lokasi. Para pelaku judi itu kemudian ditahan beberapa hari.
Anehnya, beberapa hari kemudian penjudi itu menelepon polisi yang menangkapnya dan minta izin, di mana agar mereka aman main judi? Bukannya melarang bermain judi, polisi yang menginterogasi saya tadi malah menunjukkan tempat yang aman dari bidikan aparat.
Itu hanya salah satu contoh, betapa institusi polisi masih menjadi persoalan bagi masyarakat dalam proses penegakan hukum di negara kita. Masih banyak cerita lainnya yang lebih ekstrem. Ada orang yang kehilangan helm dan ketika melaporkan ke polisi, justru orang itu malah malah kehilangan kambing (kehilangan uang senilai harga kambing). Demikian pula adagium, bila kita kehilangan kambing, maka setelah lapor ke polisi malah akan kehilangan sapi.
Belum hilang dari ingatan kita tentang banyaknya oknum perwira tinggi kepolisian yang memiliki rekening gendut hingga ratusan miliar rupiah. Sampai sekarang pun kasus ini tak tertangani dengan tuntas. Kemarin pun ada kabar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita rumah perira tinggi polisi yangn nilainya mencapai ratusan miliar.
Dengan kondisi seperti itu, rasanya belum tepat bila kemudian kepolisian membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor). Tujuannya mungkin sangat bagus, ingin mempercepat proses pemberantasan korupsi yang sampai sekarang masih tetap saja masif dilakukan oleh semua tingkatan aparatur negara.
Namun, tujuan mulia saja tidaklah cukup. Perlu kesiapan aparat, dalam arti sebenarnya, untuk memberantas korupsi. Pertanyaan sebagian besar masyarakat selalu terkait dengan citra dan reputasi kepolisian selama ini. Pemberantasan korupsi adalah upaya membersihkan negara dari daki, kotoran, dan debu korupsi. Ibarat orang menyapu agar lantai menjadi bersih, maka diperlukan sapu yang bersih pula. Mustahil lantai bisa bersih bila sapu yang digunakan kotor atau belepotan lumpur.
Itu hanya keberatan pertama atas rencana pembentukan Densur Tipikor yang disampaikan Kapolri jenderal Pol Tito Karnavian sekitar sepekan lalu saat rapat dengar pedapat dengan Komisi III DPR. Wacana yang digagas kapolri itu mendapat banyak tanggapan dari masyarakat luas.
Selain keberatan pertama tadi, rencana pembentukan Densus Tipikor juga dianggap justru akan mengganggu tugas KPK. Bahkan ada yang menilai, pembentukan Densus Tipikor adalah bukti nyata upaya melemahkan KPK dari dalam. Sudah barang tentu, KPK harus berbagi tugas dengan Densus Tipikor. Sebagian tugas-tugas KPK akan dilimpahkan ke lembaga baru itu. Bukan tidak mungkin pula, kewenangan yang dimiliki Densus Tipikor akan sama seperti KPK.
Selama ini didengung-dengungkan banyak pihak, bahwa upaya pelemahan agtau penggembosan wewenang KPK dilakkukan oleh DPR melalui hak angket. Upaya DPR ini menemui jalan buntu lantaran banyak pihak yang tak sependapat. Lagi pula, selama ini justru DPR-lah yang dianggap sebagai salah satu sarang korupsi sehingga tidak pantas jika lembaga itu mengusulkan usaha mengurangi kewenangan KPK. Rupanya, pelamahan KPK dilakukan dengan model lain yang tampaknya sudah disetujui oleh sebagian pimpinan Komisi III DPR.
Di saat tugas KPK belum bisa berjalan optimal, pembentukan lembaga baru di bidang pemberantasan korupsi merupakan upaya memangkas segala kelebihan yang dimiliki KPK. Apalagi saat ini ada pandangan, bahwa KPK lebih memilih menyisir kasus-kasus korupsi di daerah/pinggiran, meski masih banyak kasus besar di wilayah Jakarta. KPK pun hingga sekarang belum menyentuh penetapan calon kepala daerah oleh partai poliltik yang hampir pasti sarat dengan politik uang.
Hal lain yang menjadi pertanyaan atas rencana pembentukan Densus Tipikor adalah proses yang mengiringi rencana lahirnya lembaga baru itu. Jika memang pemerintah memandang perlu lagi adanya lembaga khusus untuk memberantas korupsi, maka mestinya usulan itu diajukan pemerintah dengan melibatkan KPK, DPR, kejaksaan, dan kepolisian yang sama-sama punya kewenangan di bidang itu.
Bila usulan hanya datang dari kepolisian, justru banyak pihak yang meragukan. Bukan tidak mungkin lembaga ini hanya akan menjadi alat untuk beradu posisi tawar terhadap kasus yang mendera instansi tersebut. Bisa jadi, nanti akan terjadi saling sandera antara satu kasus yang menimpa lembaga lain dengan kasus yang ditangani Densus Tipikor. Kalau ini yang terjadi, masalah korupsi tak akan bisa tuntas tertangani.
Tanpa melibatkan dan kesepakatan semua unsur lembaga yang berwenang menangani bidang korupsi, pembentukan Densus Tipikor terasa dipaksakan. Belum lagi kalau membahas anggaran yang akan diajukan. Tito mengajukan ancar-ancar total anggaran sekitar Rp 2,6 triliun.
Dana itu rinciannya akan digunakan untuk belanja modal Rp 1,55 triliun. Dengan personel Densusu Tipikor nanti sebanyak 3.560 orang, maka belanja rutin atau gaji mereka mencapai Rp 786 miliar setahun. Sedangkan belanja barang diperkirakan sebanyak Rp 359 miliar. Tito pun sudah menjelaskan, lembaga itu nanti akan dipimpin perwira tinggi kepolisian bintang dua dan berada di bawah koordinasi kapolri. Harapan Tito, nantinya penyidik kejaksaan dan kepolisian bisa berada dalam satu atap di bawah koordinasinya.
Pemerintah perlu mencermati rencana pembentukan Densus Tipikor ini. Selain biayanya yang sangat besar, efektivitas lembaga baru ini nanti sudah pasti dipertanyakan. Mungkin akan lebih baik mendorong secara optimal peran KPK, membebaskan KPK dari jerat kepentingan politik yang kini dilihat banyak pihak mulai membelit KPK, dan memberi target lebih kepada KPK agar bekerja lebih maksimal. Selain itu, tentu perlu adanya pertanggungjawaban publik terhadap kinerja KPK.
Dengan begitu rasanya belum perlu rencana pembentukan Densus Tipikor. Lain persoalan jika sapu yang digunakan Densus Tipikor untuk membersihkan lantai yang kotor penuh debu korupsi itu betul-betul sudah bersih. Kalau belum, untuk apa lagi harus membentuk Densus Tipikor?