REPUBLIKA.CO.ID
Kolom Konsultasi Syariah diasuh oleh Dr Oni Sahroni, MA, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI.
---------
Assalamualaikum wr wb.
Saat ini marak investasi emas, baik secara langsung di lembaga keuangan syariah (LKS) maupun melalui loka pasar (marketplace). Dengan cara beli emas secara online, selanjutnya dikonversi menjadi emas, kemudian dititipkan ke LKS, selanjutnya bisa dijual. Mohon penjelasan Ustaz bagaimana pandangan fikihnya? Bolehkah saya membeli produk ini di LKS?
Amira, Jakarta
-----
Waalaikumussalam wr wb.
Nasabah beli emas dari LKS secara online (digital), selajutnya menitipkannya di LKS dengan biaya penitipan. Sewaktu-waktu, nasabah juga bisa menjualnya kepada LKS. Dari sisi benefit produk ini memberikan manfaat kepada nasabah karena memudahkan mereka untuk memiliki emas sebagai aset investasi yang mudah dicairkan (likuid).
Di antara rambu-rambu syariah terkait dengan produk tersebut adalah memiliki sebelum menjual. Bank syariah sebagai penjual itu memiliki emas tersebut terlebih dahulu sebelum menjualnya kepada nasabah. Baik memilikinya dengan membeli dari supplier secara tunai atau tangguh maupun dengan serah terima fisik atau nonfisik.
Kebolehan transaksi online dengan perpindahan hak milik tanpa serah terima fisik itu didasarkan pada bahwa syariat Islam tidak mengatur mekanisme serah terima yang dimaksud, yang menjadi referensi adalah tradisi pelaku pasar. Al-Khatib menjelaskan, "Ketika syariat Islam ini mewajibkan serah terima dalam setiap transaksi itu tanpa menjelaskan mekanismenya maka yang menjadi rujukan adalah tradisi pelaku pasar." Sebagaimana ditegaskan Standar Syariah AAOIFI No 18 tentang serah terima dan Keputusan Lembaga Fikih OKI No 53 (6/4) 1990.
Kedua, emasnya harus wujud (tidak fiktif). Karena, transaksi yang terjadi antara nasabah dan bank itu dilakukan secara online, emas yang dibeli dan dititipkan tersebut tidak pernah dilihat, kemudian emas tersebut dititipkan ke bank syariah secara online dan disimpan oleh bank syariah. Maka, dipastikan emas tersebut itu wujud (ada fisiknya) dan secara hukum dalam kepemilikan nasabah.
Ketiga, sebagai titipan. Pada saat nasabah menitipkan emas yang baru dibelinya kepada bank syariah, harus diperjelas status titipan tersebut, di mana salah satu ketentuannya adalah bank (sebagai penerima titipan) menjaga amanat tersebut dan tidak melakukan transaksi perpindahan kepemilikan kepada pihak lain karena emas tersebut milik nasabah (wadiah yad amanah).
Namun, jika emas tersebut dimanfaatkan oleh bank syariah, titipan tersebut menjadi pinjaman (wadiah yad dhamanah/qardh). Berarti menyalahi titipan yang sudah disepakati. Apakah status titipan tersebut titipan murni (wadiah yad amanah) atau titipan yang akan menjadi pinjaman oleh bank penerima titipan (qardh).
Keempat, jika satu lempengan emas dimiliki oleh beberapa orang nasabah, kesepakatannya diperjelas apakah setiap nasabah tersebut memiliki bagian-bagian tertentu dari emas sesuai fisiknya atau berdasarkan porsi.
Kepemilikan porsi tersebut dimungkinkan (diperkenankan) menurut Standar Syariah AAOIFI tentang Emas : (a) Emas bisa dimiliki oleh beberapa orang berdasarkan porsi, di mana setiap pemilik (syarik) itu memiliki bagian tertentu (porsinya yang sudah ditentukan dalam jumlah tertentu). (b) Sebagai pemilik hishah atau porsi, boleh meminta bagiannya jika memungkinkan tanpa merugikan pemilik yang lain. Begitu pula ia bisa menjualnya kepada orang lain dalam kondisi semula tanpa dipecah. (c) Apabila ada kerusakan terhadap emas tersebut, setiap pemilik menanggung sebesar porsi yang dimilikinya.
Kelima, saat konversi, nominal sama dengan nilai emas berdasarkan harga yang disepakati agar terhindar dari kesalahpahaman dan sebagai bentuk perlindungan terhadap kepemilikan.
Keenam, produk ini diawasi oleh otoritas sehingga memudahkan bank untuk mengelola produk ini, ada perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen, dan juga perlindungan terhadap bank sebagai penjual. Pengawasan ini menjadi penting agar produk tersebut dikelola sesuai dengan rambu-rambu syariah tersebut di atas. Wallahu a'lam.