Jumat 24 Apr 2020 07:50 WIB

Ketakutan dan Kecemasan Sama Menularnya dengan Virus

Psikiater memakai pendekatan spiritualitas untuk membantu mengatasi kecemasan pasien.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Reiny Dwinanda
Kecemasan (Ilustrasi). Psikiater di New York, AS mendapati ketakutan dan kekhawatiran terhadap virus corona bisa sangat menular seperti juga penyakitnya.
Foto: Pixabay
Kecemasan (Ilustrasi). Psikiater di New York, AS mendapati ketakutan dan kekhawatiran terhadap virus corona bisa sangat menular seperti juga penyakitnya.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Salah satu dampak yang muncul setelah adanya pandemi Covid-19 di seluruh dunia adalah tekanan dan kecemasan. Hal ini pun turut dirasakan para tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan untuk menyelamatkan nyawa pasien infeksi virus corona tipe baru tersebut.

Tak jarang, dalam penanganan penyakit ini, para tenaga kesehatan juga menjadi korban keganasan penyakit yang belum ada obatnya itu. Oleh karenanya, kecemasan dan tekanan menjadi berlipat ganda bagi para tenaga medis.

Baca Juga

Dilansir Fox News, Kamis (23/4), para ahli kesehatan mental khawatir akan dampak jangka panjang dari adanya pandemi Covid-19. Menurut psikiater dan staf pengajar Yale yang berbasis di New York, Dr Anna Yusim, ketakutan dan kecemasan sama menularnya dengan virus.

"Saya harus membantu setiap pasien mengatasi ketakutan dan kecemasannya serta menemukan hikmah dari kondisi ini,” kata Yusim.

Sebuah jajak pendapat pelacakan kesehatan Kaiser Family Foundation (KFF) yang dilangsungkan pada akhir Maret menemukan, sebanyak 45 persen responden merasa kekhawatiran dan stres yang berkaitan dengan Covid-19 telah berdampak negatif kepada kesehatan mental mereka. Hasil itu juga menunjukkan, ada sebanyak 19 persen mengatakan memiliki dampak besar.

"Kita sebagai bangsa, berada dalam situasi yang tidak seperti apa pun yang pernah kita hadapi sebelumnya. Kematian telah menjadi kenyataan yang selalu ada dan ada begitu banyak ketidakpastian yang dirasakan semua orang,” kata Yusim yang menulis bukub"Fullfilled: How Science of Spirituality Can Help You Lead a Happier, More Meaningful Life".

Sebagai psikiater yang telah merawat sekitar 1.200 pasien dalam satu dekade praktiknya, Yusim merasa semakin sibuk sejak adanya pandemi Covid-19. Saat ini, dia merawat sekitar 150 pasien, termasuk belasan petugas kesehatan garis depan dan responden pertama.

"Ketika saya bekerja menjadi merawat, saya tidak pernah mendaftar untuk misi bunuh diri. Kami tidak memiliki alat pelindung diri (APD) yang tepat dan harus memakai berulang APD yang seharusnya sekali pakai selama beberapa hari berturut-turut,” kata salah satu pasien Yusim yang merupakan seorang perawat unit perawatan intensif (ICU) Kota New York yang menolak menyebutkan namanya.

Perawat anonim itu dan rekan-rekannya benar-benar takut tertular virus corona. Apalagi, sekarang banyak orang yang lebih muda dan sehat terjangkit Covid-19 bisa memburuk hingga harus memakai ventilator dan akhirnya meninggal dunia.

Salah seorang responden pertama yang juga pasien Yusim mengatakan, dia tidak bisa berbicara apa adanya dengan keluarganya tentang Covid-19. Sebab, yang dilihatnya di rumah sakit dari hari ke hari akan membuat keluarganya takut.

"Berbincang dengan Yusim setiap pekan adalah kesempatan saya untuk berbicara dengan lepas tentang apa yang saya alami. Saya benar-benar bisa mengeluarkan semua yang membuat dada sesak. Cuma di sini saya bisa mengungkapkan isi hati dan merenungkan bagaimana perasaan saya, tanpa harus menjaga perasaan orang lain. Saya selalu merasa lebih baik setelah terapi,” kata dia.

Salah satu tantangan mental terbesar bagi orang yang hidup melalui pandemi adalah ketakutan akan hal yang tidak diketahui. Yusim pun menemukan bahwa pelibatan spiritualitas ke dalam praktiknya sangat membantu.

"Bagi banyak orang, iman dan spiritualitas memengaruhi kemampuan menerima kenyataan. Mereka harus menemukan sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri sebagai cara untuk menemukan ketenangan dalam menghadapi hal yang tidak diketahui. Tetapi, saya punya banyak pasien yang tidak tertarik dan hanya ingin psikologi dan bagian medis. Tak mengapa,” kata Yusim yang menginisiasi Pusat Kesehatan Mental Spiritual di Departemen Psikiatri Yale University.

Yusim mengatakan, jika para pasien terbuka tentang kondisinya saat ini maka adanya spiritualitas memungkinkan mereka untuk sembuh lebih cepat. Ia menganggap spiritualitas lebih komplet daripada perawatan psikologis atau perawatan medis saja.

Sebuah laporan yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine tentang Mental Health and the Covid -19 Pandemic’baru-baru ini menemukan, setelah bencana, kebanyakan orang tabah dan tidak menyerah pada psikopatologi. Beberapa orang disebutkan menemukan kekuatan baru.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement