Selasa 05 May 2020 12:09 WIB

 ‘Aku Bukan Raja’

Kisah Didi Kempot pada awal ketenarannya.

Musisi Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot,
Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Musisi Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot,

REPUBLIKA.CO.ID, SURAKARTA -- Sebelum kembali menggendera alias berkibar lagi sebagai the Godfather of Broken Hearts, Didik  Prasetyo sudah fenomenal sepanjang pergantian abad. Lagu-lagunya menjadi latar belakang zaman peralihan di Indonesia, masa-masa yang tak mudah.

Pada Oktober 2000, wartawan Republika, Mas Edy Setyoko yang juga berpulang tahun lalu, mewawancarainya terkait jalan yang ia pilih tersebut. "Aku enggak malu. Betul! Enggak gengsi menyanyi lagu pop Jawa," ujar Didi Kempot yang kala itu berusia 34 tahun.

Musisi hitam manis dan berambut gondrong ini menjanjikan kala itu tetap konsisten pada jalurnya. "Musik pop Jawa akan saya digeluti hingga akhir hayat," ujarnya. Janji yang ia pegang teguh, 20 tahun mendatang.

Mencipta sekaligus menyanyikan lagu pop Jawa, menurut Didi, tidak bakal menurunkan derajat dan martabatnya sebagai seniman. Ia justru bangga. Karya ciptanya belakangan semakin digandrungi masyarakat. Hampir sebagian albumnya, begitu dilempar ke pasar, langsung laris bagai kacang goreng.

photo
Musisi Didi Kempot terkenal tak suka bergaya glamor layaknya selebritis Ibu Kota. - (Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO)

Musisi kelahiran 31 Desember 1966 ini tidak khawatir sedikit pun jika suatu ketika karya ciptanya kurang mendapat sambutan di hati masyarakat. Prakiraan semacam itu, menurut dia, belum tercium gelagatnya. Ia optimistis saja karyanya akan tetap dicintai masyarakat. 

"Yang jelas, saya bangga jadi artis pop Jawa tulen," kata dia menambahkan. Dalam kurun waktu satu setengah tahun belakangan saat itu, nama Didi Kempot meroket dalam belantika musik di Tanah Air. Sekarang, hampir sebagian karyanya merajai pasar kaset, media rekam yang barangkali tak dikenal kebanyakan Sobat Ambyar generasi terbaru. 

Namanya terus melambung, bahkan berkali-kali diundang ke Suriname. Tentu ini tidak lepas dari nomor-nomor lagu hitnya. Karya cipta Didi begitu lekat di hati masyarakat. Bukan hanya kalangan artis yang turut mendendangkannya, para pengamen jalanan pun turut melariskan sekaligus mempromosikannya di pasaran. 

 
Aku nggak malu. Betul! Nggak gengsi menyanyi lagu pop Jawa.

Didi, sepertinya, tidak begitu peduli pada penilaian masyarakat ihwal warna musik garapannya. Sementara, kalangan saat ini menilai warna musik Didi merusak warna musik keroncong asli. Ia memang mencampuradukkan unsur instrumen gamelan Jawa, dangdut, dan musik modern. "Biarlah masyarakat menyebut apa. Terserah," kata dia.

Ia sendiri saat itu tidak paham betul aliran musik yang dipilihnya. Yang jelas, dia melanjutkan, "Warna musik saya itu campur aduk. Gado-gado, gitu." Sebagian besar berwarna “congdut”, singkatan dari kerongcong dangdut. Ada unsur ukulele dan gendang tidak pernah ia tinggalkan. "Instrumen lain hanya sekedar 'penyedap' rasa musikalisasi saja. Jalur ini sebenarnya berbasis pop." 

Didi mengeklaim saat itu, bekal seni dimiliki tidak diperoleh dari pendidikan formal. "Semua bekal alamiah," katanya. Antara lain, faktor keturunan. Darah seni yang mengalir dari orang tuanya, Ranto Edi Gudel, cukup kuat. Hal ini diakuinya secara terus terang.

photo
Didi Kempot menghibur 'Sobat Ambyar', akhir tahun lalu. - (Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO)

Mbah Ranto--panggilan akrab Ranto Edi Gudel--dikenal sebagai seniman serbabisa. Ia seorang pelawak, penyanyi, pemain ketoprak, pelukis, juga pencipta lagu pop Jawa. Karya hitnya berjudul "Joko Lelur" dan "Anoman Obong". Ia menurunkan bakat seninya kepada anak-anaknya--Sentot S (penyanyi pop Jawa), Mamiek "Si Jambul Merah" Prakoso (pelawak Srimulat), Didi Kempot, dan Eko (pelukis dan pelawak).

Proses perjalanan kesenimanan Didi termasuk cukup panjang. Ia mengawali profesi ini sebagai seniman jalanan. Ngamen. Kegiatan ngamen keliling dilaluinya dalam kurun waktun 1986 hingga 1998. 

Paling sering nongkrong di kawasan warung lesehan nasi liwet Keprabon, Banjarsari, Solo. "Jadi, tak ada itu jalur pendidikan formal. Sekolah SMP mentok, terus ngamen," katanyaa mengaku. Awal 1989, Didi hijrah ke Jakarta. 

 
Jadi, tak ada itu jalur pendidikan formal. Sekolah SMP mentok, terus ngamen.

Di kota ini ia tetap menekuni profesi sebagai pengamen jalanan. Ia, bersama kelompoknya--Kuncung, Hery Gempil, Dany Pelo, dan Comet--mengais rezeki eceran di seputar kawasan Bunderan, Slipi. Didi tergolong pendatang baru yang memiliki suara emas di antara sesama pengamen di sana.

Kemampuan tarik suara Didi lantas membuat tertarik musisi Pompi. Dia memberi tawaran untuk masuk dapur rekaman. Anak kedua Mbah Ranto ini langsung menyodorkan sejumlah kaset yang berisi lagu-lagu karyanya. 

"Ada 10 biji lagu yang saya sodorkan," katanya. Di antaranya, "We Can You" (kowe pancen ayu--Red), "Cidro", "Podho Pinter", dan sejumlah karya lama hasil daur ulang. Didi belum beruntung waktu itu. Karya-karya yang dilempar ke pasar kurang mendapat sambutan. 

Ia tak patah semangat. Mungkin, akunya, "Nasib belum berpihak kepada saya." Setahun kemudian, Didi dan kawan-kawan terjun menjadi pengamen jalanan lagi. Profesi ini ditekuni sembari mencipta lagu tiap memperoleh inspirasi dari kehidupan nyata.

Persis tahun 1992, Didi dan kawan-kawannya dipercaya untuk rekaman di Musica Studio. Lagu berjudul "Bungkus Saja" diikutsertakan dalam rekaman itu. Sementara itu, lagu "Modal Dengkul" dilantunkan duet bersma Viara Rizky hingga mendongkrak namanya ke permukaan. Album kaset yang dilempar ke pasar pun laku keras. 

"Sejak itu saya menikmati buah karya keseniman yang sesungguhnya," katanya. Didi seperti 'kecanduan'. Ia, ingin mengulang suksesnya. Uji rekaman dilakukan lagi tahun 1994. Kali ini nasibnya tidak semulus sebelumnya. 

photo
Album kaset yang dilansir Didi Kempot selalu laku keras. - (Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO)

Kaset yang dilempar ke pasar tidak direspons masyarakat. Namun, ini tidak memebuatnya putus asa. Dicobanya rekaman sendiri. Lagu berjudul "Malam Mingguan", "Montor Omprengan", dan "Mlebu Metu" yang dibawakan duet bersama Yati Pesek juga bernasib sial.

Hinga suatu ketika, Is Haryanto memberi tawaran ngamen di negeri Belanda. "Eh, Belanda. Boro-boro, Bali saja belum tahu." Tanpa pikir panjang, tawaran itu pun diterimanya. Permintaan itu datang dari seorang promotor yang ingin mengundang penyanyi muda asli Jawa. 

Di Negeri Kincir Angin itu Didi diminta menghibur kaum buruh asal Suriname keturunan Jawa. Katanya, mereka kangen pada hiburan nenek moyangnya. Pamor Didi kian mencorong. 

Berita tentang dirinya di Belanda cepat menyambung hingga Suriname. Warga Suriname keturunan Jawa di sana pun mengundangnya. Di Suriname ia malah sempat mencipta lagu "Angin Paramaribu". Lagu ini menceriterakan keindahan ibu kota Suriname, Paramaribo. Bahkan, lagu ini menjadi kenangan warga di sana. Sampai Presiden Wede Bose, saat itu, mengundangnya ke istana kepresidenan dan memberinya penghargaan Gold Man.

Nyali Didi mengecil tatkala masuk istana menerima penghargaan. Ketika menerima hadiah berupa uang emas, kedua tangannya gemetar. Padahal, sebelumnya sudah dinasehati oleh sejumlah menteri yang juga keturunan Jawa, "Kowe ora usah gemeter, tenang wae (Kamu tidak usah gemetar, tenang saja)," ujar Didi menirukan nasihat seorang menteri Suriname.

Awal tahun 1988, Didi pulang kampung. Ia pun mencipta lagu berjudul "Stasiun Balapan". "Alhamdulillah, sukses besar," ujarnya bangga. Namanya semakin meroket. Lagu yang mengisahkan perpisahan dua kekasih itu laku keras. Begitu laris, kemudian disusul lagu "Jawaban Stasiun Balapan". Kesuksesan ini membuatnya bangga. Sebab, ia mampu mengorbitkan lagu tentang kota kelahirannya.

Karya Didi pun terus mengalir, bak air. Album barunya berisi lagu-lagu "Kuncung", "Terminal Tirtonadi", "Plong", dan "Aku Dudu Rojo" sempat merajai pasar. Ia sertakan juga lagu "Sewu Kutho" terjemahan dari "Seribu Kota" karya Ari Wibowo. "Saya diberi izin untuk menerjemahkannya." 

photo
Sobat Ambyar menikmati alunan campursari yang dibawakan Didi Kempot. - (Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO)

Didi tidak tahu persis berapa ribu keping kaset terjual. "Semua yang tahu produsen," katanya berkilah. Ia tinggal menerima hasil penjualan berikut royaltinya. Didi mengaku "Stasiun Balapan" termasuk lagu yang paling mengesankannya. Selain mencapai puncak top hits, lagu ini berkisah tentang Kota Solo. Ia sampai berujar, "Tanpa 'Stasiun Balapan', orang tak bakal kenal Didi Kempot." Dirjen RTF waktu itu, Aziz Husein, pun memberi dukungan moril ketika ia rekaman di PN Lokananta Solo.

Sepulang dari Suriname, produktivitas Didi benar-benar luar biasa. Tak kurang dari 60 judul lagu ia hasilkan dan terekam dalam 13 album. Hampir setiap album pasti ada lagu yang mencapai puncak hit. Sebagian merupakan karya hasil daur ulang lagu yang dicipta ketika ia masih aktif ngamen. Ia juga sempat menyanyikan lagu karya ayahnya, "Ayo Solat"

Kebesaran Didi ternyata tidak mengubah gaya hidupnya. Ia tetap berpenampilan nyeniman, bersahaja, tidak glamor seperti selebritis. Bersama istrinya yang mantan buruh di sebuah pabrik di Tangerang, Jawa Barat, ia saat diwawancarai kala itu juga memilih bermukim di desa terpencil, Majasen, Ngawi, Jatim. Daerah yang belum terjamah listrik, apalagi saluran telepon.

Kesibukan Didi bagai kipas angin. Permintaan manggung keliling ke berbagai daerah terus mengalir. Sering, dalam semalam saja ia harus melayani pentas di dua-tiga tempat. Saking larisnya, orang menyebut Didi saat itu sudah menjadi raja. Sebutan itu dijawabnya dalam lagu "Aku Dudu Rojo" ("Saya Bukan Raja").

Belakangan, pada masa pandemi, jejak perjuangan hidup sang musisi tampak kembali. Tak berpangku tangan, ia mengumpulkan donasi untuk menangani pandemi Covid-19. Sekitar Rp 9 miliar ia kumpulkan melalui konser amal virtualnya beberapa waktu lalu. "Sugeng tindak, Mas Didi."

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement