Rabu 06 May 2020 10:09 WIB
Media sosial

Sampah Media Sosial dan Isi Kepala Youtuber Prank

Youtuber pemuja subscribe banyak membuat video prank tidak sehat dan mendidik

Bagaimana mencari uang di youtube
Foto: wikhow
Bagaimana mencari uang di youtube

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof DR Iswandi Syahputra, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sekitar setahun lalu saya pernah kritik Youtuber pemuja subscribe. Awalnya saat menjelajah belantara youtube, saya tersesat pada banyaknya video prank yang diproduksi para youtuber pemuja subscribe.

Memang, ada prank yang menghibur dengan sehat dan mendidik.

Misalnya, seorang pengamen bersuara emas yang berpura-pura menjadi pengunjung cafe kemudian naik panggung menyumbang lagu dengan suara yang sengaja dibuat fals dan buruk. Pengunjung cafe mengejeknya. Tapi sedikit demi sedikit mulai dia keluarkan suara emasnya. Pengunjung terkesima kemudian gembira bernyanyi bersama.

Tapi banyak juga Youtuber yang memburu subscribe dengan jalan tidak manusiawi, menghina dan menyakitkan rasa kemanusiaan kita. Kalau isi kepalanya diprint, hanya keluar tulisan: SUBSCRIBE.

Misalnya, seorang Youtuber memesan makanan cepat saji melalui aplikasi OJOL dengan jumlah belanja sejuta lebih. Kebayangkan, bagaimana sulitnya driver OJOL mencari uang sebesar itu sebelum memesan, mungkin dia berhutang terlebih dahulu. Kebayangkan, sulitnya bagaimana driver OJOL itu membawa makanan yang dipesan. Titik antar pesanan diseting jauh dari restoran. Kebayangkan, sulitnya driver mencari lokasi titik antar. Tiba di titik tujuan, ternyata rumah kosong.

Driver OJOL tertunduk lesu lemas, menelpon pemesan sambil memelas. Tapi dijawab pemesan tidak ada memesan makanan. Driver OJOL lemas, balik kiri kembali dengan lesu dan nesu. Biar dramatis, adegan ini diputar lambat dengan backsound menyayat hati...

Sementara tidak jauh dari lokasi, pemesan sembunyi ketawa cekikikan. Youtuber apa ini?

Saat driver OJOL mulai bergerak, Youtuber bengis ini mengejar dan menyampaikan memang dia yang memesan makanan. Ini cuma mainan dan hiburan. Sebagai kompensasi, makanan pesanan boleh dibawa oleh driver. "Jangan lupa, subscribe"', tutupnya. Karena memang hanya itu isi kepalanya.

Kau bilang ini hiburan? Matamu!!!

Pemesan mungkin menghabiskan biaya 1 juta lebih untuk proyek prank tersebut agar mendapat subscribe. Tapi dari subscribe yang didapatnya, dia bisa dapat uang berlipat, jutaan.

Saya punya pengalaman pribadi soal ini. Seorang yang ahli dalam pengelola media sosial pernah meminta saya masuk jadi 'pemain Youtuber'. Katanya, pemikiran saya punya talen disukai banyak Youtuber, demikian rayunya. Sebelumnya, laman web pribadi saya memang ditawar puluhan juta karena banyak pembaca dan menggiurkanya imbalan iklan dari google adsense.

Semua saya tolak karena saya tidak sedang berjualan mencari nafkah dengan menjaja gagasan dalam kemasan kata. Saya sendiri bahkan mengkritik jika ada akademisi atau Guru Besar yang menjual diri jadi bintang iklan komersial.

                             ******

Baru-baru ini viral video prank seseorang (katanya Youtuber) di Bandung membagikan paket sekotak 'sembako' pada waria dan anak-anak pada waktu sahur. Setelah dibuka, isi kotak itu ternyata sampah dan batu bata.Warga dan netizen marah, kemudian mencarinya sampai ke rumah.

Selain video prank, marak pula video tragis yang merendahkan praktik keagamaan atau simbol Islam di media sosial. Anehnya, semua dilakukan para remaja hanya untuk mendapat subscribe dan like. Mereka sepertinya terjangkit dua penyakit baru yang muncul akibat media sosial:

Pertama, penyakit bulbul ala zamzam fa' turob. Kencingilah sumur air zamzam, maka kau akan terkenal. Kedua, penyakit jalan pintas mendapat uang dengan mudah dan berjumlah besar.

Bagaimana memahami fenomena Youtuber bengis, sadis dan tragis seperti ini?

Media baru memang menghadirkan harapan baru seperti penghasilan baru. Dengan berbasis like, share dan subscribe, mesin algoritma akan bekerja dan mengatur bagi laba. Sampai sini, tidak ada masalah.

Pertama, muncul masalah karena 'konten kreatif' itu merendahkan nilai kemanusiaan (bahkan keagamaan) dan mesin algoritma memang bukan manusia yang memiliki rasa yang dapat berfungsi membedakan baik dan buruk bagi manusia.

Kedua, muncul masalah karena Youtuber ini tidak memiliki rasa kemanusiaan yang tajam, mungkin karena silau dengan janji penghasilan yang didapat sebagai Youtuber.

Ketiga, masih ada khalayak netizen kurang memiliki kesadaran dan kecerdasan dalam bermedia sosial. Beberapa tetap ada yang ngelike, atau subscribe. Harusnya konten seperti ini dilaporkan pada pihak berwenang dan pemiliknya ditegur sebagai kontrol sosial.

Keempat, pemerintah sepertinya belum maksimal melakukan patroli konten seperti ini untuk menertibkan kehidupan warga di media sosial.

Bagaimana mengatasinya?

Ini bagian tersulit... Gak bisa diselesaikan hanya pakai blusukan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement