REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo pada Rabu (13/05) lalu mengadakan kunjungan singkat ke Israel. Ia di Tel Aviv hanya 6 jam, turun dari pesawat pagi dan kembali ke Washington pada siang hari. Ada apa dengan kunjungan singkat dan mendadak, di tengah wabah Covid-19 yang telah menyebabkan kematian lebih dari 85 ribu jiwa dan menginfeksi lebih dari 1.389.935 warga AS itu?
Selama di Israel, Pompeo bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu, Benny Gantz — PM yang akan menggantikan Netanyahu --, Menteri Luar Negeri Gabi Ashkenazi, dan Kepala Dinas Intelijen Israel (Mossad) Yossi Cohen. Ada empat agenda yang mereka bicarakan. Pertama, keinginan Netanyahu untuk segera menggabungkan wilayah-wilayah Palestina ke negara Israel, sesuai dengan the Deal of the Century yang digagas Presiden Donald Trump dan dirilis lima bulan lalu di Gedung Putih.
Kedua, perkembangan hubungan Israel dengan Cina. Pompeo mengingatkan agar Israel waspada terhadap Cina. Katanya, setiap investasi Cina berpotensi akan ada kebocoran informasi yang bisa mereka manfaatkan, dan itu akan memperkuat Cina. Agenda ketiga adalah masalah Iran. Kedua belah pihak sepakat untuk bersama-sama menghadapi ancaman Teheran terhadap keamanan Israel. Topik keempat terkait penyebaran Corunavirus.
Dari empat agenda itu, menurut para analis di Timur Tengah, ada satu topik yang tampaknya sangat penting, yakni implementasi dari the Deal of the Century. Trump beberapa kali menyebutnya sebagai the Big Deal of the Century, yaitu rancangan versi Trump — dan Netanyahu — untuk menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Salah satu poin penting dari the Big Deal adalah memberi kewenangan kepada Israel, dalam hal ini PM Netanyahu, untuk mencaplok Lembah Yordania dan semua pemukiman Yahudi yang dibangun di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan menjadikannya sebagai wilayah Israel. Lembah Yordania adalah wilayah strategis yang merupakan 30 persen dari luas Tepi Barat. Sementara itu, Yerusalem Timur yang dianggap Palestina sebagai ibukotanya, sesuai dengan rancangan Trump, adalah bagian integral dari seluruh Yerusalem yang dijadikan ibukota Israel.
Rancangan Trump itu jelas menyimpang dari hukum internasional dan referensi politik tentang solusi dua negara — Israel dan Palestina —, yang sejajar dan hidup berdampingan. Termasuk Resolusi PBB, Penjanjian Oslo, Prakarsa Perdamaian Arab, dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya.
Karena itu, the Deal of the Century jelas merupakan kudeta Presiden Trump terhadap solusi dua negara. Namun, Trump tampaknya tidak perduli. Ia cuek bebek saja dengan penolakan para pemimpin dunia dan lembaga-lembaga internasional.
Apalagi sekarang menjelang pemilu Presiden AS pada November mendatang, dan Trump ingin terpilih kembali untuk periode keduanya. The Deal of the Century bisa dianggap keberhasilan yang sangat bersejarah untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, yang gagal dilakukan oleh para presiden AS sebelumnya. Rancangan Trump ini tentu diharapkan bisa menarik suara warga AS, terutama Lobi Yahudi yang mempunyai pengaruh kuat di masyarakat Amerika.
Gerak cepat Menlu Pompeo untuk mengawal the Deal of the Century dengan berkunjung ke Israel, juga semakin penting bagi Gedung Putih, mengingat dalam jajak pendapat terakhir, Trump sangat keteteran. Menurut survei yang dilakukan Reuter/Ipsos (Global Market Research and Public Opinion Specialist) yang diumumkan pada Selasa lalu, calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden memimpin atas Presiden AS Donald Trump dengan 8 poin. Yakni 46 berbanding 38. Pada jajak pendapat sepekan sebelumnya, Biden hanya unggul 2 poin.
Kekalahan Trump dalam jajak pendapat itu, menurut Reuters/Ipsos, karena ia dinilai lemah dalam menangani penyebaran Covid-19, yang jumlah orang terinfeksi dan meninggal dunia di Amerika tertinggi di dunia. Survei ini diikuti 1112 wara AS, sejumlah 973 di antaranya mengidentifikasi diri sebagai pemilih terdaftar. Marjin error dalam jajak pendapat ini sekitar 4 poin.
Dalam berbagai jajak pendapat sebelum mewabahnya Covid-19, Donald Trump selalu mengungguli calon-calon presiden dari Partai Demokrat, termasuk Joe Biden. Coronavirus yang menyebar dengan cepat di Amerika seolah menghapus semua hasil kinerja Trump sejak bersinggasana di Gedung Putih, terutama keunggulannya dalam menangani ekonomi dan pengangguran.
Karena itu, pantas bila Trump kemudian tampak jengkel betul dengan yang namanya Covid-19. Untuk menutupi kelemahannya dalam menghalau wabah yang mematikan itu, Trump lalu mencari kambing hitam. Sebagai tertuduh adalah Cina. Trump menuding Coronavirus muncul dari laboratorium di Wuhan. Cina juga ia tuding sengaja menutupi penyebaran Covid-19 di awal kemunculannya di negeri itu. Tudingan-tudingan itu pun berkembang dan semakin memanaskan hubungan dua negara, yang memang sudah panas sejak Trump melancarkan perang dagang dengan Cina.
Dengan latar belakang seperti itu, rancangan Trump untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah tampaknya sangat diharapkan bisa membantu mengangkat pamor Trump di depan pemilih AS. Dalam kerangka itu pula kunjungan singkat dan mendadak Menlu Mike Pompeo ke Israel pada Rabu lalu.
Di pihak Israel sendiri, the Deal of the Century bisa jadi merupakan ‘hadiah’ dari Trump, yang mungkin sulit didapatkan dari presiden-presiden AS lainnya. Itulah sebabnya Netanyahu ingin segera mengimplementasikan rancangan Trump, sebelum ia melepaskan jabatan sebagai PM pemerintahan persatuan Israel.
Pemerintahan persatuan -- dilantik sehari setelah kunjungan Menlu Pompeo -- terbentuk berkat kesepakatan antara Netanyahu dan rival politiknya Benny Gantz. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri kebuntuan politik selama satu setengah tahun, dengan tiga kali pemilu yang gagal membentuk pemerintahan.
Berdasarkan kesepakatan, Netanyahu-Gantz akan berbagi kekuasaan dalam pemerintahan persatuan berjangka waktu 3 tahun. Netanyahu akan menjabat PM selama 18 bulan. Setelah itu, Sang PM yang sudah menjabat sejak 2009 ini akan mundur dan digantikan oleh Gantz yang akan menjabat PM selama 18 bulan pula.
Kesepakatan itu juga memberi keleluasaan kepada PM Netanyahu untuk mengimplementasikan the Deal of the Century, mulai Juli mendatang. Antara lain dengan memproses pencaplokan Lembah Yordania dan semua pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur dan menjadikannya sebagai wilayah Israel.
Namun, dalam kunjungan ke Israel pada Rabu lalu itu, Menlu Pompeo memberi arahan agar proses pencaplokan itu tidak dilakukan terburu-buru. Pihak Palestina harus diberi waktu untuk merespon positif terhadap rancangan Trump itu. ‘’Bila Palestina tidak bergerak dan terus menolak bernegosiasi (terhadap the Deal of the Century), maka akan ada konsekuensi serius, dan akan lebih mudah bagi kita untuk mengambil keputusan mengenai aneksasi Israel atas wilayah di Tepi Barat,’’ kata Pompeo.
Dengan kata lain, AS dan Israel, atau tepatnya Trump dan Netanyahu, telah mengunci permasalahan bangsa Palestina, berdasarkan the Deal of the Century. Dan, bangsa Palestina mungkin hanya akan menyaksikan wilayah mereka dicaplok Israel.
Kita khawatir, para pemimpin dunia dan masyarakat internasional, terutama negara-negara Arab dan Islam, seperti biasa, hanya berteriak dan berteriak, tidak ada aksi nyata, melihat kezaliman terhadap bangsa Palestina. Sama seperti ketika Trump memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sama dengan saat Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sama ketika Trump menganggap Dataran Tinggi Golan milik Suriah sebagai wilayah Israel.