REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Guru Besar Biologi Sel dan Molekuler, Universitas Brawijaya (UB) Profesor Sutiman Bambang Sumitro mengatakan, sinar ultraviolet (UV) memiliki frekuensi gelombang tinggi yang dapat merusak materi RNA dan protein virus. Oleh sebab itu, UV bisa mengnonaktifkan virus di udara bahkan yang menempel di benda-benda padat.
"Ini memberikan indikasi bahwa sinar Ultraviolet (UV) dari matahari mampu membersihkan corona yang ada di udara," kata Prof. Sutiman dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/6).
Dari penelitian bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tersebut, Sutiman menilai, Indonesia sangat diuntungkan karena memiliki sinar UV yang berlimpah dibandingkan negara subtropis. Negara subtropis diketahui berindeks UV rendah dan pencemaran udaranya tinggi. Situasi ini menyebabkan negara tersebut mudah menularkan virus melalui udara sehingga jumlah penderitanya banyak.
Indeks UV tinggi umumnya didapatkan pada siang hari. Hal ini berarti waktu siang hari membuat udara lebih bersih dari Covid-19. Namun sinar UV tinggi berdampak kurang baik bagi masyarakat berkulit putih di negara subtropis.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan UV tinggi tidak menimbulkan masalah. Meski demikian, efek ini masih dapat terjadi bagi penduduk yang jarang beraktivitas di luar ruangan. Kulit mereka bisa terbakar apabila berada terlalu lama di bawah sinar UV tinggi.
Kemampuan sebagai disinfektan dari sinar UV ini dimanfaatkan untuk sterilisasi angkutan umum seperti bus dan kereta api. Bahkan, UV dipakai untuk sterilisasi atau membunuh kuman di ruang operasi di rumah sakit. Oleh sebab itu, Sutiman berpendapat, masyarakat tidak perlu melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada siang hari.
Keuntungan mendapatkan limpahan sinar UV harus didukung dengan pola hidup sehat sesuai anjuran pemerintah. Dalam hal ini seperti menjaga jarak, menghindari kerumunan dan memakai masker. Sebab, keberadaan sinar UV akan sia-sia apabila tidak didukung pola hidup sehat.
"Lebih dari itu, kita harus menumbuhkan empati agar tidak menjadi penular, karena ada orang-orang dengan kondisi tertentu rentan untuk menderita keparahan ketika terinfeksi covid-19," ujar dia.
Peneliti dari Laboratorium Sistem Cerdas FILKOM, Novanto Yudistira menerangkan, pihaknya telah melakukan penelitian dengan menggunakan teknik analisis big data. Kemudian juga menggunakan machine learning yang dilatih dengan pengumpulan data dari seluruh stasiun pengamat cuaca di dunia dan beberapa satelit.
Di penelitian juga diungkapkan media penularan Covid-19 yang kemungkinan besar terjadi di wilayah tropis terutama di Indonesia. "Kemungkinan besar penularan terbanyak diperkirakan bukan dari airborne udara, namun lebih banyak dari kontak orang ke orang," ucap dia.