REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*
Setelah lebih dari tiga tahun bergulir, kontroversi kembali membayangi kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Kritik keras dari berbagai elemen masyarakat mencuat setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntutan 1 tahun penjara bagi Rahmat Kadir dan Ronny Bugis, dua orang tersangka pelaku penyiraman air keras.
Sejak awal memang sudah banyak pihak yang meragukan kasus ini bakal berjalan 'normal'. Bertahun-tahun lamanya Novel menunggu keseriusan Polri menyelidiki kasus ini. Namun, kala itu Polri bolak-balik dengan pernyataan yang sama, masih menyelidiki sketsa-sketsa pelaku. Macam ajang tebak gambar. Setelah dua orang ditangkap dengan status pelaku, publik pun masih merasa ada yang janggal. Benarkah keduanya memang pelaku sesungguhnya? Sebab, wajah mereka berbeda dengan sketsa yang selama ini digembar-gemborkan Polri.
Tuntutan terhadap dua pelaku kekerasan terhadap Novel ini seakan menggambarkan buruknya penegakan hukum di Indonesia. Bahkan dalam sebuah video, Novel turut menanggapi tuntutan ringan dua terdakwa. "Saya melihat ini hal yang harus disikapi dengan marah. Kenapa? Karena ketika keadilan diinjak-injak, norma keadilan diabaikan, ini tergambar bahwa betapa hukum di negara kita nampak sekali compang-camping," kata Novel.
Perbuatan pelaku terhadap Novel memang bukan kategori ringan. Pelaku sudah merencanakan perbuatannya hingga menyebabkan luka berat. Skenario ini semakin lucu karena penganiayaan level tinggi itu hanya diganjar dengan tuntutan hukuman 1 tahun penjara.
Kita lagi-lagi harus menelan kekecewaan atas harapan kasus ini dapat terungkap secara terang benderang di persidangan. Pengadilan berjalan seperti yang dikhawatirkan, yakni sekadar formalitas belaka. Sidang pembacaan tuntutan pada 11 Juni lalu memang belum puncaknya, masih ada beberapa kali sidang lagi sebelum majelis hakim mengetok palu putusan. Namun, baru sampai sini saja penegakan hukum terasa sekali tumpulnya.
Umumnya, seorang Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling gencar mencari kesalahan terdakwa, agar bisa dijatuhi hukuman berat, bukan karena dendam tapi demi memenuhi rasa keadilan. Alih-alih mengkritisi perbuatan kedua terdakwa, JPU malah menyampaikan pertimbangan tuntutan yang 'menggelitik'.
Satu-satunya hal memberatkan yang disampaikan oleh JPU dalam persidangan adalah kedua pelaku telah berbuat tindakan yang mencederai institusi Polri. Padahal tindakan keduanya telah menyebabkan seseorang cacat permanen.
Tidak berlebihan jika ada anggapan bahwa dalam persidangan justru JPU tampak berperan sebagai pembela terdakwa. Coba kembali simak pernyataan JPU dalam sidang tuntutan beberapa waktu lalu. "Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan ke badan, namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen," ujar JPU dalam persidangan.
Tak perlu waktu lama, pernyataan JPU ini langsung menjadi bulan-bulanan warganet di media sosial. Jika JPU menganggap terdakwa tidak pernah menginginkan untuk melakukan penganiayaan berat, bagaimana mungkin melakukan penyerangan dengan sudah berbekal air keras? dianggap tidak ingin melakukan penganiayaan berat? Tentu berbeda cerita jika kedua pelaku mendatangi Novel Baswedan sambil, misalnya, menamparnya atau mendorongnya. Itu baru bisa disebut tak bermaksud melakukan penganiayaan berat. Atau mungkin air keras dianggap JPU tidak berbahaya untuk menyerang orang lain? Wallahu a'lam.
Publik pun membandingkan kasus Novel Baswedan dengan kasus-kasus penyiraman air keras lainnya. Seperti kasus penyiraman air keras terhadap Eka Puji Rahayu yang dilakukan oleh suaminya pada Juni 2018 silam di Bengkulu, di mana pelaku dihukum hingga 8 tahun penjara. Dalam beberapa kasus serupa, hakim juga mengganjar terdakwa dengan vonis lebih dari 1 tahun penjara.
Tuntutan ringan JPU yang menangani kasus Novel bukan hanya dianggap tak memenuhi rasa keadilan. Namun, bukan tidak mungkin dapat berimplikasi buruk di masa mendatang. Pertama, jika akhirnya pengadilan memvonis terdakwa hanya dengan hukuman ringan, maka hal ini bisa membuat pelaku-pelaku kejahatan tidak segan menyerang petugas pemberantasan korupsi. Padahal kabar mengenai banyaknya anggota KPK yang mendapat teror di tengah penyelidikan kasus korupsi sudah sering kita dengar.
Kemudian, tuntutan JPU ini juga seolah mengabaikan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Lebih bahaya lagi, jika hal ini menjadi yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang. Terakhir, tentu saja jika melihat tuntutan ringan yang diajukan oleh JPU, publik harus siap-siap ikhlas bahwa kasus ini hanya akan berakhir pada dua terdakwa saja, tanpa diselidiki lebih jauh apakah ada aktor intelektual di belakangnya.
Selain itu, rentetan 'dagelan' ini juga akan menguatkan dugaan bahwa sidang kasus pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya rekayasa semata, yang sejak awal dirancang agar pelaku dituntut ringan dan sekadar menjalankan formalitas. Hal ini tentu saja akan semakin membuat masyarakat tidak percaya pada penegakan hukum di tanah air.
Meski demikian, tak elok jika kita langsung membuat kesimpulan, karena proses persidangan masih berjalan. Bukan tidak mungkin hati nurani dan rasa keadilan Majelis Hakim lebih peka dan tergerak, sehingga akhirnya malah menjatuhkan vonis berat untuk kedua terdakwa. Jangan lupa, jutaan pasang mata terus mengawasi dan memantau jalannya sidang ini. Terakhir, untuk warganet +62, mohon bersabar, tahan niat Anda untuk menertawakan, simpan dulu komentar pedas Anda, dan jangan terlalu semangat 'julid' di media sosial. Ingat, INI PERSIDANGAN, bukan ajang Stand Up Comedy.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id