REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Dr. Masri Sitanggang, Penulis adalah Penggagas dan Ketua Panitia Masyumi Reborn.
Bicara Pancasila, kaitannya dengan dasar falsafah negara, harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Dasar hukum berlakunya Pancasila ini, sampai sekarang, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal ini dipertegas dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 pada Pasal 1.
Konsideran penting yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 –yaitu kembali ke UUD 1945, dan diterima oleh semua kalangan, adalah : “…bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Konsideran ini, menurut Perdana Mentri Djuanda, Kepala Pemerintahan saat itu, bermakna bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sementara itu, RUU HIP menggunakan Pancasila yang lain. Pada Pasal 6 ayat (1) RUU HIP itu, misalnya, disebut bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pada Pasal 7 ayat (2), Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan; pada ayat (3), Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.
Pancasila yang dimaksud oleh RUU HIP jelas buklan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 145 –yang keberlakuannya atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebab, sendi utama (kalau mau pakai istilah ini) Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah satu prinsip --dari lima prinsip (Pancasila), yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan. Ia adalah mimpi bangsa Indonesia merdeka yang belum dimiliki. Bagaimana menjadikan sesuatu yang masih ada dalam mimpi sebagai sendi ?
Pancasila sebagai termaktub pada Pembukaan UUD 45 menempatkan Tuhan sebagai Causa Prima, menjadi jiwa seluruh sila dari Pancasila –termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah kesepakatan luhur yang diterima semua komponen bangsa dengan suka cita.
Negara ini akan tetap teguh dan eksis bila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ditempatkan sebagai Causa Prima, sebagai yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila. Akan bubar, bila posisi Ketuhanan Yang Maha Esa digeser atau dikerdilkan. Itulah arti sendi Utama. Berbeda dengan keadilan sosial, sebagai cita-cita bangsa, bila belum tercapai (tapi bukan karena kedzaliman penguasa), negara tidak akan bubar.
Selanjutnya, ciri pokok (kalau juga mau menggunakan istilah ini) rumusan Pancasila sebagai termaktub dalam Pembukaan UUD 145, adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dan tidak boleh diperas-peras menjadi Trisila dan apalagi Ekasila. Pemerasan Pancasila menjadi berapa sila pun akan menghancurkan Pancasila itu sendiri dan menghancurkan kesepakatan luhur kita dalam berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila –yakni Gotongroyong, adalah gagasan Bung Karno yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Itu bukan kesepakatan, melainkan masih berupa usulan sebagaimana usulan-usalan lain yang disampaikan para tokoh lainnya.
Jadi, RUU HIP menggunakan objek Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya, Pancasila yang masih berupa usulan. Dengan demikian para pengusul RUU HIP sedang menyeret bangsa ini ke masa-masa sebelum merdeka, masa-masa perdebatan tajam soal dasar falsafah negara, tepatnya masa-masa persidangn BPUPKI. Berarti pula mereka sedang mengurai benang yang telah ditenun menjadi kain oleh the founding fathers menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali.
Maka dalam hal ini, para pengusul dan penyusun Nasakah Akademik RUU HIP telah dengan sengaja melanggar konstitusi. Karena itu, RUU HIP diduga kuat adalah upaya sadar untuk mengubah/menghanti Pancasila; menghianati kesepakatan luhur bangsa dengan memanipulasi Isi dan ruh Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, casing tetap Pancasila tapi isinya telah diganti.
Ini kejahatan yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejahatan terhadap keamanan negara. Karena itu, Fraksi pengusul dan penyusun Naskah Akademik RUU HIP harus segera diusut sesuai UU Nomor 27 tahun 1999.
Konflik Ideologi akan membara dan NKRI bisa bubar. Setidaknya, Indonesia akan tumbuh menjadi negara lain yang berbeda, yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya : casingnya tetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain. Itu artinya, Indonesia sebagai bangsa telah lenyap.
Wallahu a’lam bisshawab.