Kamis 16 Jul 2020 14:11 WIB

Kisah Bill Clinton Menangkan Pilpres dengan Program "Me Too"

Bill Clinton menggeser marketing politik dari ideologi partai ke persepsi pemilih.

Red: Karta Raharja Ucu
Bill Clinton
Foto:

Kita bisa melihat pengalaman Amerika Serikat. Marketing politik pun berevolusi. Menurut Newman (1994), terdapat 4 fase perubahan politik di Amerika.

Fase pertama disebut konsep partai. Periode ini ditandai oleh masih tingginya pemilih yang mempunyai kesetiaan (partisanship) kepada  partai. Partai lebih fokus pada internal dengan membuat program dan platform untuk pemilih.

Pada fase ini, partai dikendalikan oleh elite partai. Karena kesetiaan pemilih yang tinggi, partai tidak berupaya untuk mengetahui kebutuhan pemilih. Apa pun yang diberikan oleh partai (misalnya kandidat atau program) akan tetap dipilih oleh pemilih. Tidak mengherankan jikalau pada era ini, kandidat dikuasai oleh elite partai.

Fase pertama ini mengalami perubahan ketika partai berusaha untuk meningkatkan kualitas produk. Perubahan ini mirip yang terjadi pada produk komersial. Saat itu perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk yang sama dengan kompetitor, berusaha menghasilkan produk yang paling baik agar diterima oleh pasar.

Upaya menghadirkan produk yang berkualitas ini memerlukan strategi baru. Dalam politik di Amerika dilakukan, itu dilakukan lewat rekruitmen dan kampanye politik dengan tujuan menemukan kandidat terbaik.

Partai percaya agar memenangkan pemilihan, ia harus menghadirkan kandidat yang berkualitas sebagai representasi dari partai. Ini terjadi mulai dari kandidat presiden gubernur, hingga senat.

Perubahan ini, oleh Newman (1994), disebiut dengan fase konsep produk. Pada era ini, partai berupaya menghasilkan produk yang lebih baik dbandingkan kompetitor.

Berbeda dengan era pertama di mana kandidat dikuasai oleh elite partai. Pada fase kedua ini partai membuat mekanisme seleksi dan kampanye yang terbuka pada semua anggota partai. Ini agar ditemukan calon terbaik untuk bertarung dalam Pemilu.

 

Fase ketiga politik di Amerika didorong oleh faktor eksternal. Yakni makin berperannya media (terutama televisi) dalam politik. Fase ini oleh Newman (1994) disebut dengan fase penjualan.

Fokus tetap pada kandidat, hanya saja masalahnya bukan pada bagaimana memilih kandidat yang berkualitas (fase kedua), tetapi bagaimana menjual kandidat ini agar disukai oleh pemilih. Makin berperannya media, membuat kampanye bergeser dengan menemukan strategi penggunaan media untuk memoles kandidat. Misalnya lewat iklan, debat politik, pemberitaan media dan sebagainya.

Pada fase ini, partai kemudian mulai terbuka dengan profesional dari luar. Pembentukan citra, pengemasan kandidat, produksi iklan, public relation, dan sebagainya adalah keahlian yang tidak dimiliki oleh partai. Partai kemudian mulai bekerjasama dengan profesional (konsultan) dari luar partai untuk membantu “menjual” kandidat agar kandidat disukai oleh pemilih.  

Era ketiga ini juga ditandai oleh profesionalisasi politik. Realitas politik dan persaingannya didekati melalui bantuan para professional.

Berbagai kompetensi (seperti riset, periklanan, kampanye media, penggalangan dana dan sebagainya) menjadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh partai dan kandidat. Tidak cukup kandidat hanya bisa membuat program dan berpidato (seperti pada era politik lama).

Di era profesionalisme politik, kandidat juga harus dibantu tim yang mempunyai kemampuan mengemas pesan, membuat pencitraan, memiliki teknik dalam debat politik, dan tampil baik di depan televisi (lihat Newman, 1999).

Perkembaangan lebih lanjut dari fase ketiga ini mulai bergesernya perhatian kepada pemilih. Fase keempat, perhatian semakin ditujukan kepada pertanyaan apa yang disukai oleh pemilih. Kebutuhan pemilih ini menjadi dasar partai menghasilkan produk (termasuk kanidat) yang sesuai.

Fase ini didorong oleh makin tumbuhnya pemilih yang kritis dan independen, yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pendukung partai tertentu. Jenis  pemilih tersebut bisa berpindah dari satu partai ke partai lain. Kondisi ini menggeser fokus strategi politik kepada pemilih. Inilah sociol origin bagi lahirnya  marketing politik.

Inilah awal datangnya konsultan politik, surveyor, ahli media, penulis pidato, perancang busana, event organizer dalam politik.

***

Seorang ideolog murni memang tidak berkompromi. Ia berdiri tegak lurus atas apa yang ia yakini. “Seandainya pun aku harus sendiri, melawan seluruh dunia, tetap kupegang teguh keyakinan ini.” Itu seorang true believer.

Ketika ia meyakini perbudakan harus dihapuskan, maka ia tak peduli preferensi pemilih. Ia tak peduli selera pasar. Ia akan terus maju saja. Menerjang. Terjang.

Ketika ia meyakini persamaan hak wanita, ia pun terus berjuang di sana. Maju tak gentar. Tak peduli melawan dunia.

Tapi politisi yang perlu dipilih rakyat banyak tak bisa 100 persen menjadi ideolog. Jelas seorang politisi yang baik, ia harus punya core philosophy. Ia perlu memiliki prinsip politik yang menjadi karakternya.

Namun sang politisi juga harus mengedukasi masyarakatnya. Banyak ide pembaharuan acapkali mulai dengan dukungan minoritas. Sang politisi harus terpilih dulu. Dengan kekuasaan di tangan, lebih banyak yang bisa ia lakukan untuk mengedukasi masyarakatnya.

Pada titik ini, sang politisi menjadi cerdas secara politik. Ia harus mendengar preferensi mayoritas pemilih jika ingin dipilih. Lalu melakukan pencerahan secara bertahap ketika ia berkuasa. Marketing politik membantu politisi untuk cerdas mendengar preferensi pemilih.

-- Juli 2020. (Bersambung)

CATATAN

1. Revolusi Partai Republik adalah istilah dalam politik di Amerika Serikat tahun 1990an. Di itu, mood politik mayoritas publik Amerika Serikat bergeser lebih konservatif, sesuai dengan platform partai Republik

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Republican_Revolution

2. Bill Clinton dipaksa mengaopsi program partai lawan jika ia ingin terpilih kembali. Ia pun menjadi capres “Me Too- ism,” mengedepankan program yang mirip dengan lawan politik

https://www.google.co.id/amp/s/www.washingtonexaminer.com/weekly-standard/the-perils-of-me-too-ism-8530%3f_amp=true

DAFTAR PUSTAKA

Cwalina, Wojciec,  Andrzej Falkowski & Bruce I. Newman. (2011). Political Marketing : Theoretical and Strategic Foundations. New York: Taylor & Francis.

Newman, Bruce I. (1994) . The Marketing of the President: Political marketing as Campaign Strategy. Thousand Oaks, CA: Sage Publication.

Newman, Bruce I. (1999). The Mass Marketing of Politics: Democracy in an Age of Manufactured Images. Thousand Oaks, CA: Sage Publication.

Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3043940172368778/?d=n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement