REPUBLIKA.CO.ID, TANGGAMUS, LAMPUNG -- Puluhan tahun warga Ulubelu, Tanggamus, Lampung terbiasa menanam dan memproses kopi dengan cara tradisional. Mereka, misalnya, selalu menjemur kopi di halaman tanpa alas langsung menyentuh tanah.
Namun, cara itu mulai ditinggalkan. Sebagian besar petani sudah menggunakan minimal alas terpal untuk menjemur kopi. Sebab, mereka sadar, cara itu ternyata salah satu yang bikin rasa kopi menjadi lebih bermutu.
Haji Sukardi, petani asal Desa Sukamaju di Ulubelu, Tanggamus, salah satu pelopornya. Ia sudah meninggalkan cara tradisional sejak sepuluh tahunan lalu.
Terutama semenjak berguru ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember pada 2010. Di sana, ia dan kawan-kawan petani lain menimba ilmu. Tidak hanya cara menjemur tetapi juga pembibitan, pemetikan, perawatan, hingga pengolahan pascapanen kopi yang baik.
Ilmu tersebut kemudian dipraktekan di kebunnya. Hasilnya berbuah manis. Kini sekitar 70 persen di desanya sudah mengikutinya.
"Alhamdulillah. Dari segi pengolahan jauh. Dulu kan capek betul...Dulu kita nggak tahu kalau dulu kopi harus dikasih lantai (dan alas)," kata pria berperawakan kurus itu di rumahnya di Desa Sukamaju, Tegal Rejo, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Kamis (30/7).
Menurut Sukardi dampak kopi diurus dengan baik sangat besar. Salah satunya hasil panen yang lebih baik dan banyak. Kualitas juga semakin membaik. Salah satunya dari segi rasa. Kopi yang diolahnya sekarang semakin nikmat.
"Rasa kopi pun sudah berbeda jauh, dulu dan sekarang. Sekarang sudah ada kecutnya, dulu belum...karena sekarang dari pengolahan dari ngurus batang kopinya itu beda," kata petani yang sudah menanam kopi sejak tahun 80-an ini.
Sempat ditolak
Tidak hanya ke Jember, Sukardi yang meneruskan usaha kebun orang tuanya pada 1980-an ini juga sempat belajar ke beberapa daerah. Ia pun tidak menyimpannya bekal ilmunya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, ia mencoba membaginya kepada teman-teman petani lain.
Meski bukan tanpa kendala. Ada yang menolak. Sebagian sudah nyaman dengan cara tradisional.
"Memang ada Mas yang bertentangan. Cuman kan kita namanya sudah berbagi ya sama orang ya saya sudah tahu lah karakter orang itu begini. Ya biarin dulu lah nanti kan tahu sendiri," kata kelahiran Tegal berusia 62 tahun itu.
Lambat laun perkiraannya terbukti. Melihat hasil panen kopinya yang lebih baik, sejumlah petani lain pun mulai banyak mengikuti. "Ya alhamdulillah, terus mengikuti, mengikuti kita," ujarnya.
Kini, kopi di desanya termasuk penyumbang robusta berkualitas cukup baik di Ulubelu. Kecamatan Ulubelu sendiri memiliki total perkebunan kopi seluas 34 ribu hektare. Rata-rata mampu menghasilkan 800 kilogram hingga satu ton kopi per hektarenya.
Hingga sekarang, cara tradisional memang belum 100 persen ditinggalkan. Sukardi melihat sebagian masih ada yang belum beralih. Namun, masalahnya bukan melulu soal pengetahuan mengurus kopi.
Beberapa terkendala modal. Seperti untuk membeli terpal dan alat pengupas buah dan kulit kopi. Karena itu ia berharap ada bantuan kepada petani. Baik dari pemerintah maupun pihak lain.
"Permasalahan petani di sini harus didukung dari pemerintah. Pemerintah harus mendukung betul. Baru insya Allah nanti bisa lebih bagus (hasil dan kemampuan petaninya)," kata dia.