REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah maraknya pembahasan mengenai ‘obat herbal COVID-19’ buatan Hadi Pranoto yang menuai kontroversi, Indonesia juga sejatinya tengah melakukan pengembangan immunomodulator yang berasal dari tanaman herbal asli Indonesia bagi pasien COVID-19. Dua produk herbal bikinan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu adalah Cordyceps militaris dan kombinasi herbal yang terdiri dari rimpang jahe, meniran, sambiloto dan daun sembung. Keduanya dinilai memiliki sifat antiinflamasi, antioksidan dan immunomodulator.
Dua kandidat immunomodulator itu saat ini berada dalam fase uji klinis di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran Jakarta. Prosesnya telah dimulai sejak 8 Juni silam, dengan melibatkan 90 subyek uji.
Produk herbal untuk dijadikan suplemen
Masteria Yunolvisa Putra dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang juga merupakan Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Immunomodulator dari Herbal untuk Penanganan COVID-19, menjelaskan bahwa uji klinis dua kandidat immunomodulator ini dilakukan untuk melihat beberapa hal. Di antaranya waktu yang diperlukan untuk mencapai perbaikan gejala klinis non-spesifik, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil RT-PCR negatif, dan perubahan kadar sitokin pada pasien.
Namun meski sejauh ini sebanyak 72 dari 90 subyek uji telah selesai menjalani uji klinis, hasilnya tidak serta merta dapat diketahui secara langsung mengingat sistem uji klinis yang dipakai.
“Hasilnya belum bisa diketahui karena sistem uji kliniknya blinding, jadi kita tidak tahu mana pasien yang dapat obat uji atau kontrol, hanya bisa diketahui setelah 90 subyek selesai,” kata Masteria, Selasa (4/8).
Masteria menjelaskan bahwa metode uji klinis kandidat immunomodulator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menjaga terjadinya bias pada penelitian. Plasebo adalah jenis obat kosong yang tidak mengandung zat aktif dan tidak memberikan efek apa pun terhadap kesehatan. Terdapat 2 produk uji dan 1 plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subyek uji. Dengan demikian, terdapat 30 subyek uji untuk masing-masing kelompok.
“Karena digunakan sistem blinding yang tersamar ganda, baik subyek maupun peneliti tidak mengetahui yang diberikan kepada subyek tersebut adalah salah satu dari produk uji yang diujikan atau plasebo,” ujar Masteria.
Meski begitu, uji klinis kandidat immunomodulator ini diharapkan dapat selesai pada 16 Agustus mendatang. Uji ini kemudian dilaporkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai regulator yang akan memutuskan apakah uji klinis ini berhasil atau tidak.
“Nantinya bisa dijadikan suplemen peningkat daya tahan tubuh bagi pasien COVID-19,” kata Masteria.
Jangan asal klaim
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyebutkan bahwa keberadaan obatan-obatan herbal di tengah pandemi COVID-19 justru dirasa tidak terlalu penting. Sebab, seringkali muncul pemahaman bahwa seakan-akan produk-produk herbal yang dikembangkan adalah obat untuk mengatasi COVID-19.
“Boleh saja mereka meneliti asal benar-benar dilakukan dengan terbuka dan jangan mengklaim efek yang sebenarnya tidak ada efeknya,” ujar Pandu, kepada DW, Selasa (4/8).
Ia lantas mengingatkan bahwa jangan sampai uji coba kandidat immunomodulator memberi kesan bahwa produk herbal mampu menggantikan obat atau dapat menyembuhkan COVID-19. Apalagi, pasien yang dirawat di RS darurat tersebut adalah pasien bergejala ringan yang menurutnya tanpa pengobatan sekalipun dapat sembuh dari COVID-19.
“Nanti bisa memberikan informasi yang palsu seperti banyak orang, Oh sudah diuji coba di wisma atlet. Di wisma atlet kan orang-orang yang tidak membutuhkan perawatan rumah sakit, pada umumnya tidak bergejala atau bergejala ringan. Tanpa diberikan apa-apapun akan sembuh. Tidak ada yang mati di wisma atlet,” ujar Pandu.
Menurut Pandu, jika obat-obatan herbal diklaim bisa menyembuhkan atau membantu penyembuhan, maka harus terlebih dahulu melalui pengujian secara serius. “Harus dibandingkan sama yang tidak mendapatkan obat, jadi harus randomized clinical trial, harus menggunakan uji klinik randomisasi dan double blind, harus membandingkan dengan yang tidak dapat obat (plasebo),” kata Pandu.
Masyarakat diminta lebih cerdas menyaring informasi
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Profesor Amin Soebandrio juga mengemukakan hal serupa. Pemerintah menurutnya mendukung pengembangan obat-obatan herbal dalam posisinya sebagai suplemen bukan “sebagai obat spesifik anti COVID-19”.
“Obat-obat herbal itu sifatnya bukan untuk menyembuhkan jadi kalau ada klaim obat itu bisa menyembuhkan pasien dengan COVID-19 maka itu pasti tidak benar,” ujar Amin saat diwawancara DW, Selasa (4/8).
Menurut Amin, jika obat-obatan herbal diklaim mampu menyembuhkan COVID-19, maka harus dibuktikan melalui uji klinis dan pengujian secara mikrobiologi. “Dalam arti kalau microbiological outcome-nya harus diuji virusnya,” jelasnya.
Ia pun mengingatkan para produsen obat-obatan herbal untuk menghindari klaim berlebihan terkait penyembuhan COVID-19. Sementara masyarakat ia minta lebih jeli menyaring informasi yang valid terkait produk-produk herbal.
“Kalau diklaim sebagai penyembuh itu musti berhati-hati kita lebih baik menerima bahwa produk-produk herbal itu lebih berfungsi sebagai suplemen, meningkatkan kesehatan dan daya tahan tubuh saja,” ujarnya.
sumber: https://www.dw.com/id/hati-hati-klaim-produk-herbal-sebagai-penyembuh-covid-19/a-54434508