REPUBLIKA.CO.ID, oleh Asma Nadia*
Di Indonesia, sabar sering diidentikkan dengan tidak marah, pasrah, atau sikap nerimo apa adanya terhadap suatu keadaan. Padahal makna sabar jauh lebih luas.
Rasulullah SAW adalah figur manusia tesabar. Saat berdakwah di Mekah, sang rasul dan pengikutnya dicemooh dimaki, dihina dan disakiti, namun memutuskan tidak melawan. Ketika hijrah ke Thaif, beliau dihujat, dilempari batu hingga terluka dan berdarah sekali lagi, sama sekali tidak membalas.
Akan tetapi, setelah hijrah ke Madinah, kaum muslimin mulai mengangkat senjata kepada kafir Quraisy. Selanjutnya, bahkan secara pro aktif mendatangi penguasa kafir dan menyerukan ajaran Islam.
Semua itu merupakan bentuk sabar juga, istiqomah dalam menyeru kebaikan. Jadi, diam, pasrah, hijrah, melawan, adalah rupa-rupa potret sabar yang dicontohkan Sang Nabi. Terlihat sabar mempunyai penerapan yang sangat luas.
Jika kita perhatikan dengan seksama, bisa dikatakan, sabar adalah kemampuan melakukan atau justru tidak melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan waktu, alasan, serta tempat yang tepat.
Jika boleh memadankan kata, terjemahan yang sesuai untuk sabar adalah persisten atau teguh. Teguh berarti bukan sekedar pasrah namun juga kemampuan menunggu atau menahan diri hingga berada tiba waktu, tempat, dan datang alasan yang tepat.
Jika tuntutan zaman adalah diam maka sikap sabar kita berarti diam, jika stretegi yang tepat berarti menghindar maka menghindarlah, jika yang terbaik adalah melawan, maka lawanlah.
Lalu bagaimana menerapkan sabar di masa pandemi?
Sejak corona merebak, masyarakat di berbagai belahan dunia berjuang agar sanggup menanggung sabar. Barangkali inilah masa-masa di mana kesabaran kita benar-benar diuji dalam rentang waktu yang panjang.
Kita bersabar dengan penghasilan seadanya, berjuang bertahan hidup dengan penghasilan yang mungkin harus berkurang lima puluh persen hingga sembilan puluh persen. Tidak sedikit yang kehilangan seratus persen penghasilan dan pontang-panting, terpaksa mengais-ngais sumber penghasilan baru.
Kita juga bersabar, manahan diri untuk tetap di rumah tidak ke mana-mana. Tidak bersilaturahim ke keluarga dan kawan walaupun silaturahim merupakan hal positif dan banyak kebaikannya. Kita mencegah diri dan keluarga dari mengunjungi mal, tempat hiburan, pusat kebugaran, atau destinasi lain yang menyenangkan.
Termasuk tetap sabar mengerjakan tugas kantor dengan kelengkapan seadanya di rumah, memberikan penjelasan melalui daring berkali-kali, sesuatu yang sebenarnya bisa dimengerti lebih mudah jika dijelaskan secara tatap muka. Ini juga tantangan anak-anak kita yang menjalani pendidikan dari rumah selama wabah.
Hanya saja kesabaran di atas masih lebih mudah diterapkan ketika masyarakat tidak memiliki pilihan lain. Keluar, meninggalkan rumah berarti membahayakan nyawa. Jika pun terpaksa maka tidak banyak tempat – kecuali yang menjual kebutuhan pokok, dan terbatas sekali, yang tetap beroperasi.
Akan tetapi, kesabaran kemudian menemukan tantangan lebih besar. Dengan pelonggaran karantina dan PSBB, maka nyaris semua tempat yang awalnya ditutup; mal, pusat hiburan, rumah ibadah, dan banyak fasilitas publik lain kemudian dibuka.
Di awal pelonggaran PSBB, cukup banyak pemerintah daerah yang melakukan blunder dengan mengizinkan kemballi diadakannya kegiatan keramaian seperti car free day . Dari berita yang viral, telihat bagaimana masyarakat yang selama berbulan-bulan menahan langkah di rumah, kemudian menemukan alasan keluar, kerumunan pecah. Dari mana-mana berduyun datang bergerombol dan memadati jalan. Benar olah raga adalah kegiatan yang bermanfaat bagi kesehatan. Tapi olah raga dengan risiko menyebarkan dan terpapar virus yang belum ada vaksinnya, tentu saja bukan langkah bijak.
Belakangan, tidak hanya perkantoran, bahkan sekolah formal atau informal, termasuk lembaga penddikan, taman kanak-kanak di sebagian daerah turut membuka kelas tatap muka walau terdapat pembatasan jumlah siswa dalam kelas.
Pendidikan tatap muka tentu saja baik, belajar bersama juga perkara baik, akan tetapi termasuk dalam deret kebaikan yang saat ini penundaannya lebih bermanfaat sebab memang belum waktunya. Indonesia sangat bisa belajar dari berbagai negara yang lebih dulu mampu mengendalikan penyebaran corona, lalu membuka sekolah mereka, namun wabah merebak dan kebijakan tersebut kemudian dikoreksi, sekolah-sekolah kembali ditutup.
Jika perkantoran dan komunitas menjadi cluster baru yang besar untuk penyebaran covid-19 padahal yang melangkah ke sana adalah orang-orang dewasa yang memahami protokol kesehatan dan mengerti bagaimana tidak menyentuh wajah, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, mengenakan masker dll, maka bagaimana resiko mengerikan yang menanti ketika anak-anak apalagi yang masih kecil kembali ke sekolah.
Sekali lagi perlu diingat bahwa pelonggaran PSBB yang dilakukan di berbagai daerah di tanah air sama sekali bukan karena situasi sudah kondusif melainkan sebuah keterpaksaan demi berputarnya roda ekonomi.
Faktanya, saat PSBB diberlakukan tegas, jumlah kasus hanya menyentuh puluhan hingga ratusan perhari, setelah kemudian PSBB dilonggarkan, kenaikan kasus mencapai ribuan per hari. Cukup banyak daerah yang dulu telah menjadi zona hijau, kembali rawan dan menjadi zona merah.
Bukan tanpa alasan, seruan #dirumahsajadulu sebaiknya tetap didengungkan. Sebab jika bersandar pada jumlah kasus, kondisi saat ini lebih buruk- walaupun kesiapan di berbagai sektor seperti rumah sakit, ketersediaan alat kesehatan juga kesiapan moda transportasi sudah lebih baik. Tetap lebih tepat karenanya, jika tanpa keperluan sangat mendesak dan teramat penting, mari sama-sama menahan langkah. Hal-hal lain bisa menunggu, namun nyawa kita dan nyawa orang yang disayangi hanya satu, dan tak terganti.
Jadi, mari sama-sama bersabar dan menambah kesabaran. Bersabar tidak keluar rumah, tidak tergoda membiarkan anak-anak ke sekolah- hanya karena anak-anak keluarga lain sudah melakukannya, selektif menunaikan ibadah di ruang publik, dan keluar rumah atau bertemu pihak lain hanya untuk sesuatu yang benar-benar mendesak. Ya, bagian dari sabar yang harus kita latih bersama keluarga saat ini, adalah menunda meskipun terhadap perkara-perkara baik, demi kemaslahatan yang lebih besar.