Selasa 18 Aug 2020 08:46 WIB

Pakar UGM Sebut Vaksin Bukan Satu-satunya Solusi Covid-19

Kandidat vaksin yang sudah masuk ke uji klinis fase tiga tidak selalu berhasil.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Penyuntikan Vaksin (ilustrasi)
Foto: AP/VOA
Penyuntikan Vaksin (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Indonesia sedang melakukan uji klinis vaksin Sinovac yang berasal dari China. Uji ini dilakukan ke sejumlah orang relawan sebagai tahap uji klinik fase tiga di Indonesia, untuk dapat menilai efikasi atau keandalan vaksin tersebut.

Pakar virologi dari FKKMK UGM Mohamad Saifudin Hakim menilai, vaksin bukan satu-satunya cara menghentikan pandemi Covid-19. Sebab, wabah virus corona sebelumnya, seperti SARS-CoV dan MERS-CoV berhasil dihentikan tanpa vaksin.

Baca Juga

Hakim mengingatkan, SARS-CoV pada 2002 dan MERS-CoV pada 2012 berhasil dihentikan tanpa vaksin. Bahkan, ditunjukkan mereka yang cukup sukses tahan laju peningkatan kasus Covid-19, seperti China, Korea Selatan, Selandia Baru dan Taiwan.

Negara tersebut, kata dia, bisa menekan peningkatan kasus lewat upaya-upaya pencegahan penularan yang dilaksanakan baik dan disiplin. Karenanya, ia menilai, pemerintah tetap perlu maksimal melakukan upaya-upaya pencegahan persebaran.

"Masyarakat harus disiplin melaksanakan upaya-upaya pencegahan penularan, tidak boleh kendor sama sekali," kata Hakim lewat rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (17/8).

Ia merasa, tindakan-tindakan pencegahan seperti isolasi kasus, melacak kontak fisik, karantina, memakai masker dan cuci tangan sangat diperlukan. Meski vaksin telah diuji klinis, tidak bisa diklaim efektif karena perlu menunggu hasilnya.

"Jangan terburu-buru menyimpulkan vaksin yang sedang diuji klinis saat ini pasti akan efektif dan sudah pasti menjadi pilihan untuk diedarkan, ini kesimpulan yang terlalu dini," ujar Hakim.

Hakim melihat, kandidat vaksin yang sudah masuk ke uji klinis fase tiga tidak menjamin kalau uji klinisnya akan berhasil. Banyak kandidat vaksin yang sudah menjalani uji fase tiga, namun gagal karena ternyata terbukti tidak efektif.

Hakim berpendapat, pengembangan vaksin salah satu usaha yang dilakukan untuk hentikan pandemi. Tapi, banyak penelitian menunjukkan antibodi yang terbentuk setelah infeksi SARS-CoV-2 secara alami tidak bertahan lama, hilang 2-3 bulan.

Bila nanti hasil uji coba vaksin Sinovac berhasil di Tanah Air lalu dimasukkan ke imunisasi nasional, kontinuitas program akan bergantung kepada suplai vaksin yang cukup. Maka itu, Hakim berharap, Indonesia bisa memproduksi sendiri.

"Tentu akan lebih mudah dipastikan jika kita mampu memproduksi vaksin sendiri, dibandingkan jika harus membeli dari produsen dari luar negeri," kata Hakim.

Menurut Hakim, teknologi pembuatan vaksin terinaktivasi sudah dimiliki oleh PT. Biofarma. Tapi, untuk produksi massal vaksin tersebut tentu saja menunggu hasil uji klinis fase tiga ini.

"Bila vaksin ini terbukti efektif dan aman, maka produksi massal dapat dimulai. Tinggal nanti kesepakatan antara Sinovac, Pemerintah Indonesia dan PT. Biofarma, berapa bagian produksi vaksin itu yang akan diproduksi Biofarma," ujar Hakim.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement